Print Friendly and PDF
Orang-orang Asia Tengah hari ini bangga atas Observatorium-observatorium Astronomi paling penting dalam sejarah peradaban Islam, yaitu, Observatorium Maragha di Timur dan Observatorium Samarkand di Barat, keduanya amat penting dan memiliki sejarah Sains. Secara fakta, keduanya berada di antara rangkaian Observatorium-observatorium lain yang muncul bersahut-sahutan sekian abad lamanya.

Ketertarikan pada pengamatan Astronomi dalam peradaban Islam memiliki beberapa alasan ilmiah dan praktis. Bangsa Arab telah mengetahui perjuangan para ilmuwan dari peradaban kuno sebelum mereka di bidang Astronomi. Sehingga orang-orang Arab kemudian mencoba untuk meneliti, dan mempertimbangkan kembali karya-karya orang-orang terdahulu, kemudian melampaui pencapaian mereka dengan Sains yang lebih akurat. 

Sebenarnya, kekhawatiran ilmiah ini juga bersifat religius, sebab menentukan kiblat diperlukan dalam pelaksanaan Shalat agar tepat waktu dan akurat. Persyaratan agama Islam ini pun juga memancing umat Islam untuk menaruh perhatian pada pembuatan jam-jam matahari pengukur waktu, dan munculnya sebuah ilmu pengetahuan baru yang bernama ilmu “Miqat” (Waktu).

Tetapi penelitian para ilmuwan dalam peradaban Islam telah melampaui kebutuhan relijius ini sampai membawa mereka kepada penelitian Astronomi yang mendasar. Dan pada masa itu, ‘Marshad’ (Observatorium) atau ‘Bayt al-Marshad’ (rumah observasi) atau ‘Khanah ar-Rashd’ (pusat observasi) adalah lembaga-lembaga keilmuan (Astronomi) paling penting.

Para ilmuwan Muslim terdahulu, pada mulanya mereka melakukan kegiatan observasi secara mandiri alias per seorangan. Kemudian barulah beberapa Observatorium mulai dirintis agar menjadi lembaga-lembaga Sains untuk studi ilmu Astronomi. Dan perlu diketahui, ada beda antara ilmu ‘Falak’ (Astronomi) sebagai ilmu yang rinci membahas tentang hal-hal eksak dan ukuran-ukuran ilmiah (pada benda-benda langit), dengan  ilmu ‘Tanjim’ (Astrologi/ramalan bintang) yang berkaitan dengan asumsi-asumsi dan persepsi seputar manusia dan nasibnya kelak yang dihubungkan dengan benda-benda langit dan peredarannya.

Observatorium Astronomi adalah lembaga Sains yang difokuskan untuk studi Astronomi (dalam bahasa Arab ada 3 namanya; Falak, Hay’ah, dan Madar Samawi). Observatorium difungsikan untuk melakukan penghitungan akurat dan memberikan informasi tentang pergerakan benda-benda langit, yang dikumpulkan oleh para ilmuwan dalam tabel-tabel yang terorganisir, masing-masing tabel ini diberi nama “Az-Ziyj” / Zig (bahasa Persia), atau juga diberi nama “Al-Qanun” (bahasa Arab). Kita bisa menemukan kata ‘Zig’ dalam buku karya Al-Battani, -buku ini diminati orang-orang Eropa dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Sebagaimana anda juga bisa menemukan kata ‘Al-Qanun’ pada buku karya Al-Biruni yang berjudul “Al-Qanun al-Mas’udi”.

Gambar: Manuskrip dari buku "Al-Qanun al-Mas'udi" karya Astronomi oleh Al-Biruni dari abad ke-11 M., menunjukkan gerakan peredaran planet-planet berbentuk lingkaran. Sumber: https://www.aramcoworld.com/Articles/September-2017/Islamic-Science-s-India-Connection)

Perhitungan Astronomi di Observatorium dibuat sesuai dengan rencana ilmiah yang dirancang sebelumnya. Para ilmuwan Muslim membagi tahun Matahari menjadi beberapa periode waktu, yang rata-rata jumlahnya adalah 28 bagian gerakan. Pembagian tahun Matahari ini memungkinkan para ilmuwan untuk membandingkan informasi tentang benda-benda langit secara akurat. Dan dalam konteks ini kami menemukan, misalnya, stasiun Bulan (pemberhentian Bulan di setiap malam dalam orbitnya mengelilingi Bumi), kemudian kami juga menemukan informasi rekaman pergerakan bintang-bintang malam demi malam dari awal bulan (dalam kalender tahun Bulan) hingga akhir bulan.


Perhitungan Astronomi ini secara akurat mencatat urutan munculnya beberapa benda langit di cakrawala hari demi hari, sebagaimana ia juga merekam peredaran Matahari. Pada masa itu, perhitungan dan pencatatan adalah fondasi utama bagi ekstraksi hukum-hukum Sains.

Para ilmuwan Muslim telah mengambil manfaat dari warisan para ilmuwan Yunani dan India di bidang Astronomi, lalu mereka tambahkan banyak informasi lainnya melalui perhitungan dan koreksi yang teliti. Kontribusi mereka ini lebih dari sekedar mencatat informasi, akan tetapi mereka sampai pada konklusi hukum-hukum Sains yang rapi. Mereka menguasai tabel Astronomi Ptolemeus yang menjadi sampel ilmu Astronomi Yunani, sebagaimana mereka juga menguasai tabel Sindhind. Mereka juga menyebutkan kontribusi para ilmuwan Persia terdahulu dari abad ke-5 dan 6 M., yang tertulis dalam tabel ‘Zig Syah’.


Gambar: Manuskrip abad ke-16 M. yang berisi Tabel Astronomi buatan Ulugh Bek yang aslinya dibuat di awal abad ke-15 M. ditulis dengan bahasa Persia, sumber: https://www.qdl.qa/

Minat terhadap observasi benda-benda langit dalam peradaban Islam telah ada sejak lama. Ada beberapa info mengabarkan tentang beberapa observasi dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar dari peradaban Islam, yang mana sejak abad ke-2 H. / 8 M. upaya geliat Astronomi tampak di kota Gondishapur (sekarang di Iran), sebuah kota yang di zaman dahulu kala adalah bendahara ilmu-ilmu bangsa Yunani selama berabad-abad sebelum kedatangan Islam. Walaupun, observasi yang tersisa pada hari ini dari peninggalan peradaban Islam adalah yang berasal dari pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah pada kisaran tahun 208-218 M.

Saat itu, peredaran Matahari dan Bulan telah dicatat secara akurat. Dan saat itu juga, perbandingan hasil observasi hanya dilakukan antara dua Observatorium saja (Maragha dan Samarkand), selain ia juga dibandingkan dengan hasil observasi dalam buku ‘Almagest’ karya Ptolemeus.

Beberapa hasil observasi langit juga dinisbatkan kepemilikannya kepada sejumlah besar ilmuwan abad ke-3 H. / 9 M. Di antaranya, observasi yang dilakukan oleh Musa bersaudara (Banu Musa) yang berupaya menyempurnakan seluruh buku Astronomi Yunani dengan mendapatkan manuskrip-manuskripnya dari Kekaisaran Bizantium Romawi. Saat itu, lokasi-lokasi observasi berada di antara Nishapur di Timur dan Damaskus di Barat. Dan tujuan dari proyek mereka saat itu adalah membuat tabel Astronomi bernama ‘Zig Mumtahan’ sebagai wujud tinjauan ulang terhadap tabel-tabel Astronomi yang sudah berseliweran di kalangan para ilmuwan dan tabel-tabel warisan dari Yunani.

Adapun pada abad ke-4 H. / 10 M. telah dilakukan beberapa observasi di wilayah yang lebih luas dari sebelumnya, mencakup kota-kota di Isfahan, Ray di Iran, dan Kairo di Mesir. Di antaranya observasi yang dilakukan oleh Al-Qawhiy, Abul-Wafa’ al-Buzjani, Abdur-Rahman Ash-Shufi, Al-Khajandiy, dan Ibnu Yunus yang berhasil menyelesaikan tabel ‘Zig al-Hakimi’ di masa pemerintahan Al-Hakim bi Amrillah.

Adapun di Andalusia, sejumlah ilmuwan juga tertarik pada observasi Astronomi, di antaranya Maslamah Al-Majriti (dari kota Madrid) yang meninjau ulang tabel Astronomi karya Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sekitar tahun 1120 M., dan tabel ini memiliki dampak yang signifikan di Eropa.

Dan telah sampai kepada kita informasi gambaran bentuk bangunan Observatorium peradaban Islam masa itu. Tempat praktikumnya berbentuk markas besar dan gelap, di atapnya ada lubang kecil, lalu ada penggaris besar yang dilukis untuk mengukur ketinggian matahari. Observatorium juga memiliki alat-alat observasi yang bermacam-macam. Ada informasi yang menunjukkan bahwa alat-alat mereka mirip dengan alat-alat yang digunakan orang Yunani terdahulu, alat-alat ini digunakan untuk memudahkan mereka melakukan perbandingan dengan hasil-hasil observasi yang didapatkan. 

Ada juga info yang menyebutkan bahwa alat-alat ada yang berasal dari inovasi orang-orang China dan Timur jauh (Asia Timur dan Tenggara), seperti teropong yang telah ada di China sejak abad ke-6 M. yang kemudian teropong ini dikenal juga muncul di peradaban Islam. Maka tampaklah di sini bahwa orang-orang Islam mendapatkan alat ini dari Peradaban China.


Gambar: Replika 3D dari tabung teleskop sederhana buatan Al-Biruni, sumber; Bīrūnī’s Telescopic-Shape Instrument for Observing the Lunar Crescent, oleh S. Mohammad Mozaffari and Georg Zotti https://core.ac.uk/download/pdf/39128846.pdf)


Gambar: Lukisan dari abad ke-17 tentang para Astronom Dinasti 'Utsmaniyyah sedang mengobservasi langit menggunakan Teleskop, sumber: perpustakaan Universitas Istanbul https://archive.aramcoworld.com/issue/200703/rediscovering.arabic.science.htm)

Gambar: Sebagian desain Alat-alat Astronomi oleh Taqiyuddin Asy-Syami, dari karya beliau "Tafsir Ba'dh al-Alat ar-Rashdiyyah". Sumber: Kandilli Rasathanesi El Yazmalari 1: Türkçe Yazmalar, diedit oleh Günay Kut, Istanbul: Bogaziçi Üniversitesi Yayinevi, 2007, 39. https://muslimheritage.com/taqi-al-din-bio-essay/)

Ibnu Sina (w. 428 AH / 1037 M) tercatat pernah mendeskripsikan instrumen yang digunakan di Observatorium saat itu. Dan dahulu, desain alat observasi dan pengembangannya adalah tugas ilmiah yang amat penting dan khusus. Misalnya, Muayyad al-Din al-‘Urdhi (w. 664 H. / 1266 M.), beliau bertanggung jawab atas desain alat-alat Observatorium Maragha. 

Al-‘Urdhi memiliki karya tulis tentang tata cara observasi langit, ilmu-ilmu pengantarnya, serta praktiknya yang kemudian menghantarkan pada pengetahuan seputar peredaran benda-benda langit. Buku karya Al-‘Urdhi ini sampai kepada kita dalam beberapa wujud manuskrip. Di dalamnya, beliau mengenalkan pada kita beberapa alat yang digunakan di Observatorium Maragha. Buku ini dianggap sebagai karya penting seputar studi alat-alat observasi peradaban Islam hingga abad ke-4 H. Dahulu, pembuatan alat-alat observasi –terutama Astrolabe- adalah pengetahuan yang hanya dikenal di dunia Islam bagian Barat. Kita pun kenal beberapa gambar Astrolabe yang rinci dalam beberapa manuskrip Arab kuno dari berbagai belahan dunia, sebagiannya dari Andalusia.


Gambar: Astrolabe karya Ibnu Bakran dari awal abad ke-12 M. Sumber: https://muslimheritage.com/star-finders-astrolabes/

OBSERVATORIUM ISFAHAN

Adapun Dunia Islam bagian Timur, juga dikenal menaruh perhatian amat besar pada Observatorium. Di antaranya, Observatorium Isfahan, dialah yang pertama ada di Asia Tengah, didirikan pada masa Maliksyah (429-485 H. / 1038-1092 M.). Dan Omar al-Khayyam, -orang yang dikenal bangsa Arab atas sastra Ruba’iyyat-nya dan karya-karya Astronominya- adalah salah satu ilmuwan dari sana. Adapaun praktik observasi yang dilakukan di sana harus sesuai dengan rencana ilmiah yang telah disusun sebelumnya, dan dipraktikkan berdasarkan dasar-dasar ilmiah. 

Contohnya, para ilmuwan Muslim saat itu mengamati bahwa peredaran planet Saturnus terjadi selama 30 tahun, dan dia adalah planet terjauh dari Bumi (menurut Sains saat itu), maka mereka meletakkan rencana ilmiah observasi untuk ukuran 30 tahun pengamatan lamanya, baru kemudian dilakukanlah praktik observasi dengan giat selama waktu yang telah ditentukan.

OBSERVATORIUM MARAGHA

Adapun Observatorium Maragha, adalah Observatorium yang dikelola oleh seorang ilmuwan besar Muslim bernama Nashiruddin ath-Thusi (597-672 H. / 1201-1274 M.). Di tempat ini, juga ada banyak ilmuwan dan para perancang alat-alat Astronomi lainnya. Sejak pada tahun 657 H. / 1259 M. dana pembangunan Observatorium ini mulai dialirkan dari uang Kementrian Wakaf. Pembangunan ini berlangsung selama 4 tahun, di atas lahan seluas 6.000 m2. Bangunan ini mempunyai Perpustakaan Ilmiah khusus dengan 40.000 buku di dalamnya, serta tempat pengecoran untuk pembuatan alat-alat observasi Astronomi yang terbuat dari tembaga.

Sebutlah seorang tokoh tempat ini yang bernama Al-‘Urdhi, di sana beliau berhasil menciptakan alat-alat observasi Astronomi terbaik yang dikenal di masanya. Beliau kembangkan alat-alat tersebut dan menginovasi alat-alat baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Dahulu rencana ilmiah observasi siklus edar planet Jupiter pada mulanya memerlukan waktu 30 tahun praktek observasi, akan tetapi dengan kecanggihan alat-alat al-‘Urdhi ini waktu observasi dapat dipendekkan menjadi 12 tahun saja. Adapun Masterpiece dari Observatorium Maragha ini adalah tabel ‘Zig Al-Ilkhani’. Bangunan ini terus beroperasi selama kurang lebih 50 tahun lamanya. 

Sejarah Observatorium Maragha dikaitkan dengan para ilmuwan di antaranya: Muhyiddin al-Maghribi dan Quthbuddin Syirazi. Para Astronom yang bekerja di Observatorium ini ada banyak jumlahnya. dahulu sempat ada keinginan untuk menjadikan Observatorium ini sebagai pusat Astronomi dunia, sebagai tempat bertemunya para ilmuwan dari Andalusia, Mesir dan Asia Kecil, seperti halnya - juga - para ilmuwan dari China datang ke sana menyajikan pengetahuan mereka dengan metode-metode Astronomi Cina untuk menghitung kalender hari-hari besar. 

Di antara ilmuwan Observatorium Maragha yang paling terkenal adalah Ibnu Abi Syukr Al-Maghribi Al-Andalusi (meninggal setelah 680 H. / 1281 M.) pernah tinggal di Mesir, kemudian bekerja dengan Nashiruddin at-Thusi di Observatorium Maragha. Beliau memiliki sekitar 20 judul karya ilmiah, sebagaimana disebutkan oleh Carl Borckelmann dalam buku “Geschichte der arabischen Litteratur”, di antaranya berjudul: Penelitian Seputar Kalender Bangsa China.


Gambar: Model 3D dari rekaan bentuk Observatorium Maragha yang dibuat oleh Whetton dan Grosch, sumber: https://www.whettonandgrosch.co.uk/projects/maragha-observatory/

Gambar: Replika mini dari cuplikan bagian dalam Observatorium Maragha yang dibuat oleh Whetton dan Grosch, sumber: https://www.whettonandgrosch.co.uk/projects/maragha-observatory/

OBSERVATORIUM SAMARKAND

Observatorium Samarkand adalah Observatorium milik Sultan Ulugh Beg yang didirikan pada tahun 826-832 H. / 1420-1428 M. dan didanai oleh penguasa besar Asia Tengah yang memerintah Samarkand (1409-1449 M.), salah satu penguasa terpenting keluarga Timor.

Pembangunan Observatorium Samarkand ini berada satu kompleks berangkai dengan lembaga-lembaga publik lainnya, di antaranya ada Khanqah (tempat ibadah Shufi), madrasah, istana, aula singgasana Sultan, dan sebuah Masjid besar berdinding dan beratapkan kayu. Semuanya ini tergabung sebagai sampel indah dari arsitektur Islam khas Asia Tengah.

Rencana praktikum ilmiah di Observatorium Samarkand disusun oleh sekelompok ilmuwan elit, di antaranya: Ghiyatsuddin Jamsyid dan Mu’inuddin al-Qasyani. Lalu yang menjadi pemimpin praktikumnya adalah pakar Astronomi bernama Ali Qawsyaji. Melalui pengawasan beliau, terhasilkan tabel-tabel Astronomi pada tahun 841 H. / 1437 M. Tabel-tabel ini terbagi menjadi 4 bagian: 
1) Qiyasat (Ukuran-ukuran) untuk zaman dan tempat yang beragam, 
2) pengaturan waktu, 
3) peredaran bintang-bintang, 
4) lokasi benda-benda langit yang tidak beredar. 

Tabel ini termasuk dari karya terbaik peradaban Islam di bidang Astronomi, salah satu dari rangkaian visi ilmiah global milik Ulugh Beg yang selalu berprinsip mendahulukan Sains yang memiliki kepentingan global di atas studi-studi berkepentingan nasional.

Tampaknya Observatorium Samarkand terus beroperasi hingga tahun 1500 M. (sekitar 70 tahun lamanya). Adapun puing-puing peninggalan Observatorium ini baru terungkap pada tahun 1908 M. Dan kini telah tuntas restorasi di bagian Observatorium yang tersisa.

Gambar: Sisi depan Observatorium Ulugh Beg pada tahun 2009, sumber: https://www.atlasobscura.com/places/ulugh-beg-observatory


Gambar: Sekstan, instrumen Astronomi (untuk mengukur jarak objek dan mengukur ketinggian dalam navigasi) yang masih tersisa dari Observatorium Ulugh Beg ini, sumber: https://www.atlasobscura.com/places/ulugh-beg-observatory

OBSERVATORIUM LAINNYA

Setelah terhentinya kegiatan ilmiah di Observatorium Maragha dan Samarkand, beberapa tradisi ilmiah peradaban Islam sebenarnya masih berlanjut di dua lokasi sederhana lainnya, yaitu Observatorium Istanbul, dan sebuah bangunan milik Astronom Taqiyuddin Asy-Syami. Akan tetapi hal ini hanya berlangsung selama beberapa tahun saja. Hingga kemudian beratus tahun setelahnya, tradisi ilmiah ini sempat dilanjutkan di Observatorium Jaipur India pada tahun 1740 M. dan di kota Delhi bagian Barat Daya.

Sejarah menunjukkan bahwa kontribusi ilmiah ini (pengoperasian Observatorium) hanya terwujud dengan sokongan dana pemerintah, termasuk dengan memberdayakan para ilmuwan, pekerja, bangunan, dan uang. Terlihat kesuksesan Sains pada masa Al-Ma’mun berkaitan erat dengan pendanaan yang beliau berikan untuk kegiatan Astronomi. Sampai kemudian seluruh proyek Astronomi di masa itu harus terhenti setelah wafatnya Al-Ma’mun. 

Dahulu Dinasti Buwaihiy bersama para menteri mereka mendanai program-program observasi Astronomi di kawasan Ray, Isfahan, dan Shiraz. Semua program ini mengharuskan mereka membangun beberapa pusat studi khusus Astronomi.

Adapun Dinasti Fathimiyyah, mereka hanya mendanai kegiatan Astronomi di Kairo sebatas pada apa yang mungkin mereka lakukan saja.


Gambar: Sisa-sisa Observatorium Jaipur di India, dibangun oleh Maharajah Jai Singh pada tahun 1726 M. Pengamatan awal dilakukan dengan mata telanjang dari atas struktur arsitektur yang monumental ini. Monumen ini terdiri dari jam matahari raksasa, Samrat Yantra, dan Gnomon yang condong pada ketinggian 27 m., menunjukkan ketinggian Jaipur dan ketinggian Bintang Kutub. Di sana juga terdapat Sekstan astronomi besar dan ruang meridian. Sumber: https://muslimheritage.com/astronomical-observatories-in-the-classical-islamic-culture/

Gambar: Tampak atas gambaran Observatorium Istanbul di mana para staff beserta Taqiyuddin melakukan penelitian menggunakan instrumen-instrumen Astronomi, dari buku tahun 1581 M. Sumber: https://muslimheritage.com/turkeys-700-year-venture-science-technology/

Gambar: Setengah lingkaran Azimuthal karya Taqiyuddin. Sumber: Al-Ālāt al-rasadiya li-zīj al-shāhinshāhiyya, Perpustakaan Museum Istana Topkapi, Hazine 452, fol. 452, folio 10a. https://muslimheritage.com/taqi-al-din-bio-essay/

OBSERVATORIUM: MEDIA TEMU ANTAR PERADABAN 

Pertemuan antar peradaban adalah ciri utama dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Penghormatan kepada kontribusi Ptolemeus (Astronom terbesar Yunani) dan masterpiece-nya “Almagest” serta penerjemahannya ke Bahasa Arab adalah bukti nyata dari hal ini. Bahkan “Almagest” di bidang Astronomi dianggap seperti “Al-Kitab” karya Sibawaih di bidang Nahwu. 

Akan tetapi para Ilmuwan Peradaban Islam tidak merasa puas dengan karya-karya Sains orang terdahulu, sekalipun nilainya amat tinggi. Mereka juga mengenal masterpiece Astronomi peradaban India yang berjudul “Zig Sindhind”, akan tetapi mereka tidak sekedar menukil, mencomot, dan merangkum karya-karya tersebut. Mereka lakukan penelitian dan peninjauan ulang terhadap karya-karya tersebut dengan rinci menurut metode-metode Saintifik yang kemudian membawa mereka menciptakan tabel Astronomi masterpiece mereka yang berjudul “Zig Mumtahan”.

Dari sini tampak pentingnya metode ilmiah untuk mencapai pengetahuan baru, kemudian menganalisa pengetahuan baru tersebut dalam rangka menemukan hukum-hukum Sains, dan ini baru bisa sempurna dilakukan dengan menggunakan Qiyasat (ukuran-ukuran). Sebenarnya, pengembangan alat-alat observasi Astronomi adalah bagian penting dari komposisi sebuah Observatorium, di samping bangunannya harus sesuai dan cocok. 

Observatorium berbentuk persegi enam yang didesain oleh Al-Khajandi pada abad ke-4 H. / 10 M. di kota Ray memiliki spesifikasi sebagai berikut: ia berukuran (3,5 X 20 X 10 m), memiliki lubang masuknya sinar Matahari, dan di bagian dalam ruangan tampak jelas Qiyasat (ukuran-ukuran) yang tergambar di atas lempengan-lempengan tembaga. 

Ibnu Sina telah menyebutkan beberapa alat observasi dalam bukunya yang berjudul “Fil Alat Ar-Rashdiyyah”, di antaranya adalah alat ukur berupa penggaris yang memiliki siku vertikal untuk mencatat garis-garis orbit yang mengitari Observatorium. Ada juga alat yang digunakan untuk membantu penglihatan (semacam teleskop) yang dibuat sekaligus agar penglihat dapat mengetahui menit dan detik observasi.

Tiap-tiap Observatorium ini beroperasi selama beberapa tahun, kemudian semuanya terpaksa harus berhenti beroperasi. Lalu terjadilah perhentian gerakan Sains dan terputusnya kegiatan ilmiah,  serta penyusutan pengalaman antar generasi peradaban Islam di bidang Astronomi.

Berhentinya kegiatan ilmiah ini terjadi karena wafatnya para penguasa yang memiliki kepedulian terhadapnya. Observatorium Al-Khajandi di Ray dahulu beroperasi melalui dana finansial dari pemimpin negara saat itu, dan harus terhenti seiring dengan kematiannya. Observatorium Isfahan telah beroperasi 30 tahun, kemudian muncul Observatorium Maragha yang beroperasi selama 50 tahun. Adapun Observatorium Samarkand beroperasi kurang dari 70 tahun lamanya. Kemudian setelah itu, punahlah rangkaian Observatorium besar peradaban Islam.

BAHASA PENGANTAR OBSERVATORIUM

Ada pertanyaan yang muncul tentang bahasa yang digunakan  di Observatorium-observatorium ini: Apakah itu bahasa Arab atau Persia atau salah satu dari bahasa-bahasa Turki? Jika kita berpikir bahwa bahasa utama yang digunakan oleh sebuah lembaga ilmiah adalah bahasa yang sama yang digunakan oleh para Ilmuwan Islam dalam karya-karya tulis ilmiah mereka, maka jawabannya barangkali dengan melihat bahasa yang digunakan dalam buku-buku mereka. 

Nasiruddin Ath-Thusi misalnya, beliau menulis 15 buku di bidang Astronomi, Carl Brockelmann menyebutkan daftar nama-nama buku tersebut dalam biografi Ath-Thusi yang ditulisnya dalam buku “Tarikh Al-Adab Al-‘Arabiy”. Di antara buku-buku Ath-Thusi, kami temukan di antaranya ada yang menggunakan Bahasa Arab, yakni buku-buku pengantar dasar-dasar Sains, seperti: 
- “Tahrir Al-Majisthy” (Menyunting Almagest karya Ptolemeus)
- “Al-Bari’ fi Ulumit-Taqwim” (Ilmu Penanggalan Kalender) 
- “Harakat al-Aflak” (Pergerakan/Mekanika Benda Langit)
- “Risalah bi Madar ‘Atharid wa Hajmihi wa Masafatihi” (Penelitian tentang Garis Edar Merkurius, Ukuran, dan Jaraknya) 
- “Mukhtashar fi ‘Ilmi at-Tanjim” (Ringkasan tentang Ilmu Astrologi) 
- “Ma’rifah At-Taqwim” (Ilmu Kalender).  

Ada lagi buku-buku Ath-Thusi berbahasa Arab lainnya yang mengandung suntingan terhadap buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan sebelumnya ke Bahasa Arab, di antaranya: 
- “Tahrir Zhahirat al-Falak li Iqlidis” (Menyunting Buku Phaenomena karya Eklides tentang Astronomi Bola/Spherical)
- “Utukliyus fi ath-Thulu’ wal-Ghurub” (Pandangan Autolycus tentang Terbit dan Tenggelamnya Benda Langit dalam Buku “On Risings and Settings”
- “Kitab al-Mathali’” (Titik-titik Terbit Benda Langit) 
- “Risalah al-Ayyam wal-Layali” (Penelitian tentang Siang dan Malam Hari) 
- “Urstarkhus fi Jaramay an-Nayyirayn wa Bu’dayhima” (Pandangan Aristarkhos tentang Bobot Matahari dan Bulan, serta Jarak Keduanya, buku ini menyerupai karya Autolycus). 
- “Nuzhah an-Nazhir”

Adapun buku-buku karangan Ath-Thusi yang dihadiahkan kepada para Raja atau yang membawa nama-nama mereka, maka semuanya menggunakan bahasa Persia, seperti:
- “At-Tadzkirah an-Nashiriyyah” yang ditemukan manuskripnya dalam bahasa Persia asli, walaupun ada juga manuskripnya berupa terjemahan berbahasa Arab
- “Az-Zij al-Ilkhani” (Tabel Astronomi) yang manuskrip aslinya berbahasa Persia, dan ada pula manuskrip terjemahannya dalam bahasa Arab
- “Fushul fit-Taqwim” (Ilmu Kalender) berbahasa Persia
- Dan sebuah buku tentang Astrolabe dalam bahasa Persia

Ada juga karya Ath-Thusi yang pada mulanya ditulis menggunakan Bahasa Persia, lalu diterjemahkan ke Bahasa Arab, seperti “Zubdatul Idrak fi Hay’ah al-Aflak” (Astrofisika).

Dari data-data ini dapat kita simpulkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang diunggulkan dalam praktek Sains di masa itu, yang digunakan oleh buku-buku dasar Sains dan buku-buku Yunani yang diterjemahkan. Serta bahwa perintah penguasa juga menyebabkan ditulisnya sebagian buku Sains dalam bahasa Persia. Barangkali buku “Tahrir Kitab ats-Tsamrah li Bathalimyus” (Menyunting Buku Centiloquium karya Ptolemeus di bidang Astrologi) adalah contoh gamblang dari buku yang dikecualikan. Buku ini ditulis di Observatorium Maragha dalam bahasa Arab, kemudian baru diterjemahkan ke bahasa Persia dan ditulis Syarah-nya (interpretasi).

Dan tampaknya, atas banyaknya permintaan para pembaca berbahasa Persia membuat Ath-Thusi menerjemahkan buku “Shuwar al-Kawakib Ats-Tsabitah” (Deskripsi Bintang-bintang tak Bergerak/Planet) milik Abdur-Rahman ash-Shufi dari bahasa Arab ke bahasa Persia.

Di atas ini semua, sungguh gerakan para ilmuwan Arab di Observatorium menunjukkan adanya kekuatan bahasa Arab dalam praktik Sains di dalam Observatorium. Di antara mereka adalah Ibnu Abi Syukr al-Qurthubi (wafat setelah 680 H./1281 M.) beliau tinggal di Mesir, kemudian setelah itu bekerja bersama Nashiruddin Ath-Thusi di Observatorium Maragha. Beliau memiliki 20 karya di bidang Astronomi dan Matematika yang terhubung dengan karya-karya peninggalan Yunani, China, Uyghur –mereka bangsa kecil, berbahasa dengan salah satu bahasa Turki kuno, mereka tinggal di China di perbatasan Kazakhstan. 

Kami temukan buku-buku Ibnu Abi Syukr ini merujuk pada “Elements” karya Eklides, “Conics” karya Apollonius, “Kurriyyat” milik Menelaus, “Kurriyyat” milik Theodosius, dan ringkasan “Almagest” karya Ptolemeus, sebagaimana beliau juga mengarang penelitian tentang Kalender Bangsa China dan Uyghur. Seluruh karya beliau ini menggunakan bahasa Arab.

Ternyata, dahulu Observatorium-observatorium ini adalah lahan peninjauan Sains oleh orang-orang dari luar Dunia Islam. Tampak para peminat Astronomi di China dan Mongolia dahulu meninjau karya-karya Ilmuwan Islam. Salah satu manuskrip Astronomi menunjukkan adanya hubungan Sains antara Asia Tengah, China, dan Mongolia.

Brockelmann menyebutkan, sebuah buku karya Abu Muhammad ‘Atha’ bin Ahmad as-Samarqandi yang berasal dari tahun 764 H / 1462 M, ditulis untuk Kaisar Mongolia saat itu, dalam subjek penghitungan waktu, padanya juga ada papan-papan astronomi. Uniknya, manuskrip buku ini ditulis dengan Bahasa Arab dengan tulisan tangan penulis, dan di sekitarnya terdapat catatan-catatan komentar menggunakan Bahasa China dan Mongol.

Kontribusi para Ilmuwan Astronomi Muslim pun dibawa ke Eropa melalui penerjemahan karya-karya mereka. Termasuk di antaranya, ukuran-ukuran Astronomi yang mereka gunakan, serta hukum-hukum Astronomi yang berhasil mereka temukan. Tabel-tabel Astronomi yang dibuat oleh para Ilmuwan Andalusia atau kawasan Timur Jazirah Arab (Syam, Persia, dst.) dengan cepatnya dibawa masuk ke tanah Eropa Barat.

Dahulu, penukilan tabel-tabel Astronomi buatan Ilmuwan Arab amat sangat sering terjadi sejak abad ke-6 H. (12 M.). Bersamaan dengan penerjemahan ini ke Eropa, banyak kata-kata Arab dalam ilmu Astronomi yang diserap bahasa-bahasa di Eropa. Seorang pakar Bahasa Jerman, Kunitzsch meneliti nama-nama Bintang berbahasa Arab dalam Astronomi Eropa pada tahun 1959 M.


Gambar: Cover artikel "Arabic in the Sky" karya Robert Lebling di Majalah Aramco World Vol. 61, tentang jejak-jejak bahasa Arab pada penamaan benda-benda Langit. Beliau menuliskan bahwa para ilmuwan menyimpulkan ada sekitar 210 nama Arab yang dibawa oleh bintang-bintang di langit dalam ilmu Astronomi modern hari ini. Sumber: https://archive.aramcoworld.com/issue/201005/arabic.in.the.sky.htm

Kontribusi para ilmuwan Arab dalam ilmu Astronomi amatlah besar bagi Renaissans (kebangkitan Sains) Eropa. Banyak penelitian telah dimulai untuk membahas tema ini.

Barangkali, penemuan terpenting dari penelitian-penelitian tersebut adalah adanya hubungan erat antara karya-karya Nashiruddin Ath-Thusi di Observatorium Maragha dengan Revolusi Astronomi Copernicus  (terhubung dengan karya Aristarkhos oleh Ath-Thusi yang membahas bahwa Matahari adalah pusat alam semesta, bukan Bumi). Di antara penelitian yang membahas hal ini adalah karya-karya Edward Stewart Kennedy (Late Medieval Planetary Theory, 1966) dan Prof. Willy Hartner dari Frankfurt (Trepidation and Planetary Theories, 1971). 

Berkaitan dengan hal ini, para Sejarahwan Sains mengamati bahwa salah satu praktek teknis yang digunakan Copernicus sebenarnya telah dipaparkan oleh Ath-Thusi dalam karya agungnya “At-Tadzkirah fi ‘Ilmi al-Hay’ah” (Astrofisika), oleh karenanya para peneliti zaman modern ini menamai praktek Copernicus ini dengan nama “Tusi Couple” (Tandem Ath-Thusi). 


Gambar: Tusi Couple, julukan atas temuan Ath-Thusi tentang model planetary yang digambar oleh tangannya sendiri dari Manuskrip abad ke-13 M., sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/File:Tusi_couple.jpg)


Gambar: Animasi dari Tusi Couple yang menggambarkan pergerakan latitudinal planet-planet inferior, dia adalah solusi pengganti atas Equant yang dikenalkan oleh Ptolemeus dalam karyanya Almagest. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Tusi_couple)

Semua kemajuan Astronomi di masa Peradaban Islam ini sayangnya tidak berlanjut pada generasi-generasi selanjutnya. Perkembangan Sains mereka harus terhenti dan terputus begitu saja. Kemajuan yang pernah mereka capai kini hanyalah kenangan masa lalu dalam Sejarah ilmu pengetahuan.


Sesungguhnya kemajuan ilmu Astronomi ini terkait erat dengan Observatorium-observatorium tadi yang berada dalam kerangka Peradaban Islam. Ketika Rifa’ah ath-Thahthawi (1801-1872 M.) mengunjungi Paris, -yang mana dia adalah seorang Muslim yang tau pentingnya ilmu Miqat (Waktu)-, dia melihat ke arah Observatorium Nasional Perancis sebagai salah satu lembaga Sains terpenting Negara, dia pun menamainya dengan “Ar-Rashd as-Sulthani” (Observatorium Sultan). 

Namun, menghidupkan kembali pengetahuan tentang kemajuan peradaban Islam di masa lalu adalah hal yang sangat penting untuk mengkoreksi kesadaran umat modern hari ini. Bila seorang Prof. Fuat Sezgin (Universitas Frankfurt) kini sedang melakukan pengawasan atas proyek agung membuat ulang alat-alat teknologi yang digunakan oleh para ilmuwan peradaban Islam di masa lalu, di antara yang paling utama adalah Astrolabe. Sungguh rencana pembuatan Museum Sains Peradaban Islam perlu menghimpun serangkaian lengkap alat-alat atau teknologi yang mungkin untuk dipamerkan baik seperti aslinya 100% atau bentuk miniaturnya yang menggambarkan prestasi Sains dan Teknologi dalam kreativitas yang estetik. Sungguh proyek ini adalah proyek masa depan di era kompetisi global antar bangsa.

Ini, tentu saja, bertujuan untuk mengembalikan perhatian dunia Islam kepada Sains dan Teknologi secara umum, dan wilayah Asia Tengah secara khusus. Hari ini, ia mengusahakan terwujudnya era baru yang tegak berdiri di atas kinerja, kemajuan, dan pertemuan antar peradaban.

Ditulis oleh:
Prof. Dr. Mahmoud Fahmy Hegazi, peraih King Faisal Prize untuk bidang Bahasa dan Sastra Arab tahun 2019.

Sumber: 
Dinukil dari Majalah ‘Al-‘Arabiy’ Kuwait, Edisi 5.271, tanggal terbit 10/2002 M.

Gambar di awal artikel adalah replika model 3D dari Observatorium Maragha yang dibuat oleh Whetton dan Grosch, sumber: https://www.whettonandgrosch.co.uk/projects/maragha-observatory/


Alih Bahasa dan Edit oleh:
Ahmad Ubaidillah* 

* Mahasiswa Jurusan Syari'ah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab di Jakarta cabang Universitas Al-Imam Muhammad bin Saud Riyadh Kerajaan Arab Saudi


Sumber link artikel: 
https://islamstory.com/ar/artical/20421/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D8%A7%D8%B5%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D9%81%D9%84%D9%83%D9%8A%D8%A9-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%B6%D8%A7%D8%B1%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B3%D9%84%D8%A7%D9%85%D9%8A%D8%A9

0 comments so far,add yours