Print Friendly and PDF

Farmakologi adalah salah satu ilmu yang menarik perhatian besar para ilmuwan Muslim. Mereka berhasil menunjukkan zaman peradaban Islam sebagai peradaban Manusia pertama dalam sejarah yang mengenalkan senyawa-senyawa farmasi secara ilmiah, efektif, dan dengan metode yang terbilang baru. Hingga Gustave Le Bon berkata, ilmu Farmakologi dapat kita katakan berasal dari mereka (para ilmuwan Muslim) tanpa ragu sedikit pun, dan kita katakan bahwa Farmakologi adalah penemuan asli Arab (Islam)[1] ; Para ilmuwan Muslim telah menambahkan beragam senyawa Farmasi baru hasil temuan mereka di atas obat-obatan yang pernah ditemukan oleh peradaban-peradaban terdahulu. Mereka adalah manusia pertama yang menulis buku-buku tentang obat-obatan[2].

ASAL-USUL PENISBATAN FARMAKOLOGI SEBAGAI TEMUAN UMAT ISLAM

Pada mulanya, orang-orang Muslim mengenal ilmu obat-obatan dari Yunani; di mana mereka mengkaji buku “Materia Medica” (Al-Maddah ath-Thibbiyyah fi al-Hasyaisy wa al-Adwiyah al-Mufradah) yang ditulis oleh Pedanius Dioskorides (w. 80 M.). Mereka terjemahkan buku ini berkali-kali, dan yang paling termasyhur adalah terjemahan Hunain bin Ishaq di Baghdad (Irak), dan terjemahan Abu Abdillah Ash-Shaqalliy (Secilia, Italia) di Cordoba (Spanyol).

Kemudian setelah itu, para peneliti Farmakologi Muslim menambahkan beberapa tambahan atas buku tersebut berdasarkan pengalaman dan percobaan yang mereka lakukan, termasuk menemukan hal-hal yang Dioskorides lewatkan. Dari sanalah dimulai penulisan karya-karya seputar Farmakologi dan Botani dengan derasnya. Di antaranya ada:
- “Mu’jam an-Nabat” (Kamus Tumbuhan) karya Abu Hanifah ad-Dinawari[3]
“Al-Filahah an-Nibthiyyah” (Pertanian Kerajaan Nabatea) karya Ibnu Wahsyiyah[4]
“Al-Filahah al-Andalusiyyah” (Pertanian Negeri Andalusia) karya Ibnu al-‘Awwam al-Isybiliy (Sevilla)[5].

Para penulis Muslim banyak mengambil manfaat seputar Farmakologi dari buku-buku tersebut dan sejenisnya.

Gambar: Sampul depan buku karya Ibnu Al-Baythar yang berjudul 'Tafsir Kitab Diyasquridus fi al-adwiya al-mufrada' (Tafsir buku Materia Medica karya Dioskorides) sumber: https://www.1001inventions.com/herbal-medicine

PENGARUH DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM DI BIDANG FARMAKOLOGI

Ada beberapa upaya yang dilakukan para ilmuwan Muslim untuk menggali manfaat pengobatan dari tanaman-tanaman lokal. Di antara upaya tersebut pada mulanya adalah mengarang buku seperti kamus dalam bentuk tabel, di dalamnya berisi beragam nama tanaman yang berbeda-beda dalam bahasa Arab, Yunani, Syria, Persia, dan Berber serta penjelasan nama-nama obat tunggal (yang tidak dicampur dengan obat-obatan lainnya).

Adapun di antara upaya praktikum yang mereka lakukan di bidang ini adalah praktik yang dilakukan oleh Rasyiduddin ash-Shuri[6]. Beliau pergi ke lokasi tanaman-tanaman yang hendak diteliti bersama seorang pelukis. Beliau perhatikan tanaman tersebut dan mencatatnya, lalu diperlihatkannya kepada si pelukis untuk pertama kalinya saat tanaman tersebut masih berupa kecambah (fase Juvenil) atau tunas muda. Lalu kali keduanya, diperlihatkan tanaman tersebut kepada si pelukis setelah tumbuh sempurna dan tampak bijinya (fase produksi). Lalu kali ketiganya, diperlihatkannya seusai tanaman itu dipanen dan kering (fase penuaan). Sementara demikian, si pelukis menggambar tanaman itu dalam 3 fase tadi.[7]

Barangkali pengaruh dan kontribusi umat Islam terpenting di awal mula mereka mengkaji ilmu ini adalah mereka memasukkan sistem ‘Hisbah’ pengawasan Negara terhadap obat-obatan[8]. Termasuk mereka ubah pula profesi perdagangan dari yang semula siapa pun bebas bekerja di dalamnya menjadi profesi yang tunduk di bawah pengawasan Negara.

Ini terjadi di masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Hal yang membuat beliau memutuskan peraturan ini adalah terjadinya ketidak jujuran dan penipuan dari sebagian oknum yang bekerja di bidang Farmasi (obat-obatan). Di antara mereka ada yang mengklaim bahwa dirinya memiliki segala macam obat-obatan, lalu para pasien diberi obat-obatan berdasar kesepakatan dengan si penjual. Melihat ketidaktahuan para pasien terhadap jenis-jenis obat, Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan pelaksanaan pemeriksaan kejujuran para Apoteker.

Kemudian setelah Al-Ma’mun (wafat), datang masa pemerintahan Khalifah Al-Mu’tashim (w. 227 M.), beliau berlakukan sistem sertifikasi izin kerja bagi para Apoteker yang terbukti amanah dan cerdas. Dengan keputusan inilah, Farmasi masuk di bawah Badan ‘Hisbah’ pengawasan Negara secara komprehensif. Sistem ‘Hisbah’ ini kemudian diadopsi di berbagai penjuru Eropa pada masa pemerintahan Frederick II (607-648 H. / 1210-1250 M.). Bahkan kata ‘Muhtasib’ (petugas Hisbah) masih digunakan dengan lafazh Arabnya di Spanyol hingga saat ini.

Gambar: Istilah Almotacén dalam bahasa Spanyol yang diambil dari kata Al-Muhtasib, screenshoot ini menunjukkan akar kata ini digunakan di zaman Andalusia Islam Abad Pertengahan yang masih dipakai di zaman Modern. 4 arti Almotacén : 1. Petugas Administrasi yang mengawasi barang-barang pasar. 2. Petugas Gudang. 3. Kepala Pelayan Kerajaan. 4. Hakim Pengadilan untuk pasar.

“Di masa itu, pemerintah mengawasi industri (obat-obatan) yang berperan penting bagi kesejahteraan warganya. Dan para Apoteker bertanggung jawab atas kelayakan obat-obatan dan keseimbangan harganya. Sejarah mencatat seorang Panglima Khaydhar bin Kawus al-Afshin mengunjungi langsung Apotek-apotek pedesaan untuk membuktikan sendiri bahwa mereka menyediakan seluruh bahan-bahan medis”[9].

Dengan fakta inilah para umat Islam adalah bangsa pertama yang menciptakan ilmu Farmakologi berdasarkan asas ilmiah nan logis, serta bangsa pertama yang melakukan pengawasan terhadap Apotek dan Apoteker melalui Badan ‘Hisbah’ (Pengawasan Khusus Negara)[10].

Max Meyerhof berkata:
“Penelitian-penelitian yang ditulis di bidang Farmakologi pada masa itu (peradaban Islam) tidak terhitung jumlahnya. Karya-karya mereka antara membahas obat-obatan tunggal, -dan penulis paling tersohor di bidang itu tanpa penentang adalah Ibnu al-Baythar-, atau membahas obat-obatan campuran...

Ibnu al-Baythar mengarang kitab ‘Jami’ Mufradat al-Adwiyah’ (Penghimpun Obat-obatan Tunggal), beliau mengambil dan mempelajari beragam tanaman dan obat-obatan dari pesisir pantai Laut Tengah (Mediterania), Spanyol, dan Suriah. Dalam bukunya, beliau deskripsikan 1.400 obat medis, dan beliau bandingkan penelitiannya ini dengan deskripsi-deskripsi obat hasil penelitian lebih dari 150 ilmuwan Arab. Sehingga hasilnya adalah buah yang matang disebabkan kedalaman penelitian beliau, keakuratan pengamatan, dan luasnya penelaahan. Beliau pun dianggap sebagai penulis berbahasa Arab teragung di bidang Botani.”[11] 
Dalam proses penyajian dan peracikan obat, para apoteker Muslim menggunakan metode-metode inovatif, beberapa di antaranya masih digunakan hingga saat ini, seperti:
1. Distilasi: untuk memisahkan cairan.
2. Amalgamation (peleburan): untuk mencampurkan merkuri dengan logam lain.
3. Sublimasi: untuk mengubah benda padat menjadi uap, kemudian menjadi benda padat lagi tanpa melalui kondisi likuiditas (cair).
4. Kristalisasi: untuk memisahkan kristal dari zat terlarut.
5. Polikistik: proses oksidasi normal[12].

Gambar: Replika Alembic kuno (Al-Inbiq) buatan ilmuwan Muslim Jabir bin Hayyan yang digunakan untuk Distilasi

Gambar: Berbagai gambaran praktik Kimia ilmuwan Muslim Abad Pertengahan dalam bentuk manuskrip dan replika yang dipajang di Museum of Science and Technology in Islam milik King Abdullah University of Science and Technology

Gambar: Replika Al-Inbiq buatan Jabir bin Hayyan, Kimiawan Islam Agung, yang dipamerkan di Museum of Science and Technology in Islam milik King Abdullah University of Science and Technology
Gambar: Alembic Modern

Para Ilmuwan Muslim telah menulis beberapa buku tentang obat-obatan, mungkin buku terpenting mereka adalah “Al-Jami’ li Mufradat al-Adwiyah wa al-Aghdziyah” (Penghimpun Obat-obatan Tunggal dan Makanan) karya Abdullah bin Ahmad Al-Maliqiy yang lebih dikenal dengan julukan Ibnu al-Baythar (wafat 646 H / 1248 M). Beliau meneliti langsung tanaman dan memverifikasi identitasnya sebelum menuliskannya. Di dalam buku ini, beliau kumpulkan info-info dari peradaban Yunani. Beliau deskripsikan di dalamnya sekitar 1.500 obat-obatan medis; baik berasal dari tanaman, hewan, ataupun mineral/logam.

Beliau juga menyebutkan metode penggunaan obat tersebut. Beliau susun rapi nama-nama obat tersebut berdasarkan urutan abjad Kamus untuk mempermudah siapapun yang hendak merujuknya. Beliau letakkan Mukadimah di dalamnya yang mencerminkan metode percobaan yang dilakukannya dalam menghimpun seluruh data yang disajikan.

Tertulis di dalam pembahasan tujuan kedua dari penulisan buku ini, beliau berkata:
“Hanya penukilan valid yang kuambil dari orang-orang terdahulu dan kusempurnakan dari orang-orang belakangan. Lalu apapun yang shahih dari semua itu melalui penelitianku secara langsung, serta apapun yang terbukti benar melalui ilmu pengetahuan bukan sekedar desas-desus info, kusimpan seluruhnya sebagai perbendaharaan rahasia. Kubuat diriku tidak meminta bantuan siapapun jua dalam menyelesaikan penelitian ini selain Allah yang Maha Kaya. (Tujuanku lainnya adalah) memperingatkan dari segala obat yang mengandung kesalahan dan ilusi para peneliti sebelumku baik yang terdahulu maupun yang belakangan; sebab kebanyakan dari mereka bersandar kepada buku dan nukilan, sementara diriku bersandar pada percobaan dan penglihatan langsung sebagaimana yang kusebutkan sebelumnya.”[13]

Gambar: Dua contoh manuskrip dari buku Ibnu Al-Baythar "Jami' Mufradat", dari Perpustakaan Suleymaniye, Haga Sofia, Turki. Sumber: https://muslimheritage.com/botany-herbals-and-healing-in-islamic-science-and-medicine/ 

Farmakologi termasuk di antara ilmu-ilmu yang diistimewakan para ilmuwan Muslim dengan ditulis terpisah dalam karya tulis tersendiri (tidak tercampur dengan ilmu lainnya), hingga menjadi ilmu kongkrit. Mereka berhasil menguasainya dan berinovasi di dalamnya. Mereka ambil manfaat dari Farmakologi orang-orang terdahulu, menambahkan di atasnya, dan menginovasi banyak obat-obatan yang hingga sekarang masih digunakan. Karya-karya tulis yang tersohor meletakkan fondasi Farmakologi dan mendeskripsikan obat-obatan (dengan baik) adalah seperti karya-karya Ibnu Al-Baythar, Ibnu Zuhar, dan Abu Bakar ar-Razi.

Kejeniusan umat Islam di bidang Kimia memungkinkan mereka untuk mencapai prestasi-prestasi penting di cabang-cabang ilmu yang terhubung dengan Kimia, terutama di Farmakologi. Sebab obat-obatan membutuhkan pengolahan, persamaan reaksi dan hukum Kimia, sehingga dari sanalah muncul obat-obatan kimiawi yang mujarab, lalu terbukalah gerbang era baru menuju ilmu medis modern bagi para penggelutnya.

Barangkali rahasia dari asal-usul Farmakologi dan penisbatannya kepada umat Islam adalah: “...bahwa bangsa Arab dahulu tinggal di negeri dengan udara yang layak bagi pertanian Kurma... di wilayah itu, di mana pepohonan asam tumbuh dengan kekuatan yang menakjubkan. Engkau melihat tumbuh-tumbuhan mengeluarkan rempah-rempah dan cuka balsamik, serta bahan-bahan yang bermanfaat dan berbahaya bagi manusia. Sejak dahulu hal ini menyebabkan mereka melihat dengan seksama tanaman yang ditumbuhkan negeri mereka, termasuk hasil bumi dari pantai Malabar, Srilanka, dan Afrika Timur yang memiliki hubungan perdagangan dengan bangsa Arab... hal ini (juga) mengharuskan mereka untuk membedakan produksi bumi mana yang berguna untuk medis dan industri.”[14]

INOVASI PARA ILMUWAN MUSLIM DAN KARYA TULIS MEREKA DI BIDANG FARMASI

Dengan berkembangnya industri Farmasi, para Apoteker Muslim mendapati lahan inovasi yang subur, di mana mereka berhasil meracik obat-obatan dari lingkungan lokal dengan berat yang terukur dan disederhanakan. Mereka juga mengambil jalan pintas yang amat jauh ketika mereka telah mengambil manfaat dari ilmu Kimia dalam menemukan obat-obatan baru yang berpengaruh bagi penyembuhan sebagian penyakit, seperti ekstraksi Alkohol, senyawa merkuri, garam amonia, penemuan bermacam-macam sirup obat, emulsi, dan ekstrak jamur. Ditambah lagi, penelitan yang gigih membawa mereka kepada penemuan obat-obatan bersandarkan pada sumber dan energi yang dikandungnya. Sebagaimana berbagai praktikum membawa mereka kepada penemuan obat-obatan herbal baru yang tidak dikenal sebelumnya, seperti kapur barus, pare, dan pacar (hena)[15].

Derasnya penulisan buku-buku seputar Farmakologi –serta penelitian tanpa henti yang mengungkap obat-obatan baru di samping obat yang sudah ada sejak dulu- membawa kepada pentingnya pembagian obat-obatan tersebut sesuai dengan standar yang diletakkan para penulis atau apoteker. Kami temukan contoh nyata tentang ini dalam buku “Al-Hawi” (Wadah Pengobatan) karya Ar-Razi, “Ash-Shaydalah fi Ath-Thibb” (Farmakologi Medis) karya Al-Biruni, “Kamil ash-Shina’ah” (Industri Lengkap Farmasi) karya Ali bin ‘Abbas, dan “Al-Qanun” (Undang-undang Medis) karya Ibnu Sina.

Contohnya adalah klasifikasi Ar-Razi terhadap obat-obatan. Beliau meletakkan fondasi-fondasi yang shahih untuk berbagai cabang ilmu Farmakologi. Beliau perjelas deskripsi-deskripsinya, metode penyajiannya, menyingkap penyalahgunaan obat, kandungannya, bahan alternatifnya dan masa kadaluarsanya. Ar-Razi klasifikasi obat-obatan menjadi 4 jenis:
- Bahan tanah (logam)
- Bahan nabati/herbal
- Bahan hewani
- Obat-obatan turunan (dari 3 bahan tadi)  

Di antara inovasi ilmuwan Muslim lainnya di bidang Farmakologi adalah mereka mampu mencampur obat-obatan dengan madu di satu waktu, dan dengan gula dan jus di waktu lain. Bangsa Arab lebih mengutamakan gula dibanding madu, berbeda dari bangsa-bangsa terdahulu. Hal ini menyebabkan munculnya produk obat-obatan (baru) yang berguna.[16]

Ar-Razi (dikenal juga) menggunakan merkuri dalam meracik salep untuk pertama kalinya. Beliau uji coba efek salep ini pada monyet. Para Dokter Muslim adalah orang-orang pertama yang menyatakan bahwa biji Kopi adalah obat untuk Jantung. Mereka juga mendeskripsikan bahwa biji-biji Kopi yang sudah ditumbuk adalah obat untuk Tonsilitis (radang amandel), Disentri, dan luka meradang. Mereka juga sebut Kapur Barus berfungsi untuk resusitasi Jantung.

Mereka juga berhasil mengurangi kadar efek sebagian obat dengan menambahkan padanya jus Lemon dan Jeruk bercampur kayu manis atau cengkeh. Mereka juga berhasil membuat penawar racun yang diracik dari puluhan dan terkadang ratusan obat-obatan. Mereka juga berhasil meracik opium dan merkuri, serta menggunakan ganja, opium, dan sejenisnya untuk pembiusan[17].

BUKU-BUKU FARMAKOLOGI PALING TERSOHOR KARANGAN ILMUWAN MUSLIM

1. Abu Bakar ar-Razi menulis buku-buku, di antaranya: “Manafi’ al-Aghdziyah” (Ragam Manfaat Makanan), “Shaydaliyah ath-Thibb” (Apotek Medis), “Al-Hawi fi at-Tadawi” (Wadah di bidang Pengobatan).

2. Ali bin Abbas (Ibnu al-Majusi) menulis kitab “Kamil ash-Shina’ah ath-Thibbiyyah” (Industri Medis Lengkap) yang juga dikenal dengan nama “Al-Maliki” (Buku Sang Raja, karena beliau melayani Raja ‘Adhud ad-Daulah), di mana jilid ke-2 buku ini membahas Farmakologi dalam 30 bab.

3. Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas az-Zahrawi menulis kitab “At-Tashrif liman ‘Ajaza ‘an at-Ta’lif” (Pembebasan bagi Siapa Saja yang tak Mampu Mengarang Buku), beliau tulis di sana 1 bab khusus tentang obat-obatan.

Lihat juga artikel kami tentang Az-Zahrawi sebagai bapak ilmu bedah yang sangat berpengaruh bagi Kedokteran modern hari ini:

4. Daud Al-Anthaki[18] menulis kitab “Tadzkirah li Uli al-Abab wa al-Jami’ li al-‘Ajab al-‘Ujab” (Pengingat bagi Orang-orang Berakal dan Penghimpun Aneka Keajaiban).

5. Kuhin al-‘Aththar menulis kitab “Minhaj ad-Dukkan wa Dustur al-A’yan fi A’mal wa Tarkib al-Adwiyah an-Nafi’ah li al-Abdan” (Sistem Toko dan Konstitusi para Tokoh Terkemuka dalam Proses Peracikan Obat-obatan yang Bermanfaat untuk Tubuh).

6. Ibnu Zuhar Al-Andalusi[19] menulis buku “Al-Jami’ fi al-Asyribah wa al-Ma’junat” (Sang Penghimpun di Bidang Minuman dan Pasta).

7. Abu Abdillah Muhammad Al-Idrisi menulis “Al-Jami’ li Shifat Asytat an-Nabatat wa Dhurub Anwa’i al-Mufradat min al-Asyjar wa al-Atsmar wa al-Ushul wa al-Azhar” (Penghimpun Sifat-sifat Beragam Tumbuhan dan Jenis Pohon, Buah, Akar, dan Bunga)

8. Ahmad bin Muhammad al-Ghafiqi menulis “Jami’ al-Adwiyah al-Mufradah” (Penghimpun Obat-obatan Tunggal)

9. Al-Kindi menulis 22 buku di bidang Medis dan Farmakologi

10. “Firdaus al-Hikmah fi ath-Thibb” (Surga Kebijaksanaan Ilmu Medis) dianggap sebagai karya terpenting Ibnu Rabban Ath-Thabari dan buku tertua yang paling lengkap di bidang Farmakologi.

Lihat juga artikel kami tentang Ibnu Rabban Ath-Thabari dan sebagian penjelasan Farmakologi dalam bukunya Firdaus al-Hikmah di link berikut ini:
Ibnu Rabban, Dokter Perintis Parasitologi dan Mikrobiologi, Pengembang Psikoterapi

Gambar: Seorang Apoteker menakar obat dengan panduan sang Dokter, terlihat ada timbangan serta berbagai model wadah obat  menggantung di atasnya, dari manuskrip Iraq abad ke-12, sumber: aramco.com

(Dari uraian di atas) ternyata, para cendekiawan Muslim memiliki peran penting dalam mengakarkan fondasi, mengembangkan dan memperluas ilmu Farmakologi. Mereka telah tulis buku-buku khusus di bidang ini sehingga ia menjadi ilmu kongkrit tersendiri.

Ditulis oleh:
Prof. Dr. Raghib as-Sirjani
Pemilik situs www.Islamstory.com

Alih bahasa dan edit oleh:
Ahmad Ubaidillah

Gambar di awal artikel: Manuskrip kuno Arab dari terjemahan Materia Medica karya Dioskorides yang ditulis di Baghdad tahun 1224 M. yang melukiskan seorang Apoteker sedang membuat obat sirup untuk demam dan sakit perut.

Artikel asli berbahasa Arab di link berikut:
https://islamstory.com/ar/artical/23394/%D8%A7%D8%A8%D8%AA%D9%83%D8%A7%D8%B1_%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B3%D9%84%D9%85%D9%8A%D9%86_%D8%B9%D9%84%D9%85_%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%8A%D8%AF%D9%84%D8%A9



[1] Gustave Le Bon , Hadharah al-‘Arab (La Civilisation des Arabes) hlm. 494
[2] Jalal Mazhhar, Hadharah al-Islam wa Atsaruha fi at-Taraqqiy al-‘Alami hlm. 306
[3] Abu Hanifah Ad-Dinawari: Ahmad bin Daud bin Watand Ad-Dinawari (w. 282 H./895 M.) termasuk dari orang jenius, insinyur, filosof, sejarahwan, ahli botani, lihat Az-Zirikli, Al-A’lam 1/123
[4] Ibnu Al-Wahsyiyyah: Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Qays bin al-Mukhtar bin Abdul Karim bin Hartsiyya (w. 318 H./930 M.), pakar Kimia, dituduh sebagai penyihir, diberi julukan ash-Shufi, lihat Az-Zirikli, Al-A’lam 1/170
[5] Ibnu al-‘Awwam al-Isybili: Abu Zakariya Yahya bin Muhammad bin Ahmad (w. 580 H./1185 M.) ilmuwan Andalusia, terkenal karena bukunya “” (Pertanian Andalusia), sebagian buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Spanyol dan Perancis, lihat Az-Zirikli, Al-A’lam 8/165
[6] Rasyiduddin ash-Shuri: Rasyiduddin bin Abu al-Fadhl bin Ali (573-639 H./1177-1241 M.), ahli Botani dan kedokteran, berteman dengan Khalifah Shalahuddin al-Ayyubi, lahir di kota Shur, wafat di Damaskus, lihat Ash-Shafadi, Al-Wafi bil Wafayat 14/84
[7] Ibnu Abi Ushaybi’ah, ‘Uyun al-Anba’ 2/219
[8] Jalal Mazhhar, Hadharah al-Islam wa Atsaruha fi at-Taraqqiy al-‘Alami hlm. 312
[9] Louis-Pierre-Eugène Sédillot, Tarikh al-‘Arab al-‘Aam (Histoire des Arabes) hlm. 382
[10] Jirjis Fathullah, Mabhats Idarah al-Mustasyfayat wa al-Muraqabah ash-Shihhiyyah fi al-Mujtama’ al-Islami, dipublish di Turats al-Islam di bawah pengawasan Arnold, hlm. 512
[11] Max Meyerhouf, Mabhats ath-Thibb (Studies in Mediaeval Arabic Medicine: Theory and Practice), dipublish di Turats al-Islam di bawah pengawasan Arnold, hlm. 485
[12] Ali Abdullah ad-Difa’, Rawa’i’ al-Hadharah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah hlm. 257
[13] Jalal Mazhhar, Hadharah al-Islam wa Atsaruha fi at-Taraqqiy al-‘Alami hlm. 308-309, Muhammad ash-Shadiq ‘Afifi, Tathawwur al-Fikr al-‘Ilmi ‘inda al-Muslimin hlm. 223
[14] Louis-Pierre-Eugène Sédillot, Tarikh al-‘Arab al-‘Aam (Histoire des Arabes) hlm. 381
[15] Qadri Thuqan, Ulama’ al-‘Arab wa ma A’thawhu li al-Hadharah hlm. 27
[16] Louis-Pierre-Eugène Sédillot, Tarikh al-‘Arab al-‘Aam (Histoire des Arabes) hlm. 283
[17] Qadri Thuqan, Ulama’ al-‘Arab wa ma A’thawhu li al-Hadharah hlm. 27-28
[18] Daud al-Anthaki: Daud bin Umar al-Anthaki (w. 1008 H./1600 M.) pakar Kedokteran dan Sastra, tuna netra, kepemimpinan para Dokter berakhir pada beliau di masa itu, wafat di Mekkah, di antara karyanya “Tadzkirah Ulu al-Albab”, lihat Ibnu al-‘Imad, Syadzratu adz-Dzahab 8/415-416
[19] Ibnu Zuhar Al-Andalusi: Abu Marwan Abdul Malik bin Zuhar bin Abdul Malik al-Isybili (464-557 H./1072-1162 M.) Dokter Andalusia penduduk kota Sevilla, di zamannya tak ada yang menyamainya, lihat Ash-Shafadi, Al-Wafi bil Wafayat 19/110

0 comments so far,add yours