Print Friendly and PDF

Ketika ratusan rumah sakit tersebar di dunia Islam, baik di kawasan Timur maupun Barat. Pada masa itu bangsa Eropa masih tersesat dalam gelapnya kebodohan. Mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang rumah sakit seperti yang terdapat di dunia Islam, begitu pula tentang ketertiban, kebersihan dan keluhuran perasaan kemanusiaan yang ada di dalamnya.
Ketika Kekaisaran Romawi jatuh pada abad kelima, Eropa jatuh ke dalam masa yang dikenal sebagai awal abad kegelapan, dark age. Sebagian besar pengetahuan yang didapat oleh peradaban sebelumnya hilang.
Selama masa ini, Eropa dikelola oleh penguasa lokal yang memerintahkan wilayah-wilayah kecil. Dengan lahan kecil seperti itu, perkembangan infrastuktur sangat lemah, sehingga universitas dan sistem kesehatan masyarakat jarang ditemukan.
Bagi banyak petani di Inggris Abad Pertengahan, penyakit dan kesehatan yang buruk menjadi bagian kehidupan sehari-hari mereka, sedangkan obat-obatan dasar seringkali tidak berguna.
Banyaknya peperangan dan kerusuhan sosial juga berpengaruh pada lambatnya kemajuan sistem kedokteran.
Kota pun terkenal kotor dan pengetahuan tentang kebersihan tidak ada.

Ketika Black Death membunuh dua pertiga penduduk Inggris pada tahun 1348 dan 1350. Pada tahun 1349, Edward III mengeluh kepada walikota London, ia melaporkan bahwa jalanan kota itu kotor:

“Cause the human feaces and other filth lying in the streets and lanes in the city to be removed with all speed to places fat distant, so that no greater cause of mortality may arise from such smells.”

“Karena kotoran manusia dan kotoran lainnya tercecer di jalanan dan jalur di kota, maka harus segera dibersihkan dengan cepat ke tempat-tempat yang jauh, sebab tidak ada penyebab kematian yang lebih besar melainkan berasal dari bau.”


GEREJA TIDAK MENYARANKAN BEROBAT

Orang-orang diarahkan untuk berdoa dan takut karena konsekuensi pelanggaran perintah atau berfikir sesuatu yang tidak searah dengan ajaran gereja.
Gereja juga mendorong manusia untuk mendatangi orang-orang suci jika menginginkan pengobatan dan penyembuhan penyakit.
Banyak yang akhirnya berfikir bahwa penyakit adalah hukuman dari Tuhan, tidak ada guna mencoba mencari obat. Sehingga tidak ada yang tahu penyebab suatu penyakit. Tidak ada pengetahuan tentang kuman dan sebagainya.
Manusia pada abad pertengahan telah diajari oleh gereja, penyakit apapun bentuknya maka itu adalah hukuman dari Tuhan atas perilaku dan dosa. Hanya pertobatan yang dapat menyelamatkan. Bahkan sejumlah orang percaya bahwa pengobatan atau memerangi penyakit berarti sebuah tindakan melawan Tuhan, karena Tuhanlah yang mengirim penyakit tersebut, kesembuhan tergantung pada kehendaknya.
Orang-orang diarahkan untuk berziarah ke tempat suci, agar Tuhan menyembuhkan mereka dari penyakit, terutama jika terdapat air suci di tempat tersebut yang dijual.
Pada tahun 1170, Katedral Canterbury menjadi tempat ziarah yang menguntungkan kekayaan kota, namun beresiko meningkatkan penularan penyakit yang dibawa pasien.
Katedral Canterbury 



DOKTER MEMILIKI IDE-IDE SENDIRI DALAM MENGUSIR PENYAKIT

Dokter Eropa di Abad Pertengahan tidak pandai mengobati.
Dokter memang dipandang sebagai orang terampil, tapi pekerjaan meraka hanya bersandar pada pengetahuan anatomi manusia yang sangat buruk. Percobaan medis terhadap mayat tidak pernah terdengar di Inggris abad pertengahan, bahkan dilarang keras oleh Gereja Katolik.
Buku yang ditulis di abad pertengahan tentang herbal yang paling terkenal mungkin Red Book of Hergest (1400) yang ditulis di Welsh di sekitar tahun 1390.

Salah satu dokter paling terkenal adalah John Arderne yang menulis “The Art of Medicine” dan terkenal merawat bangsawan. Dia dianggap master di bidangnya, padahal menurut dia obat untuk batu ginjal adalah plaster panas yang dilumuri madu dan kotoran burung merpati.

Beberapa ide dan gagasan para dokter di masa itu terbagi dalam beberapa metode, yang paling dominan adalah:
1.       Mereka yang menyalahkan bau busuk mengembangkan formula tertentu untuk mengusir bau busuk tersebut, dokter abad pertengahan sering membawa sesuatu yang berbau enak, mereka percaya bahwa itu akan melawan bau busuk dan mencegah agar dirinya tidak terkena penyakit.
2.       Sebagian mereka menyalahkan planet-planet yang keluar dari garis edarnya. Menurut Guy de Chauliac, seorang dokter dan ahli bedah dari Prancis yang wafat pada tahun 1368 menyimpulkan, penyebab Black Death adalah disebabkan tiga planet besar yang sedang berada dalam hubungan yang tidak biasa, yaitu Saturnus, Mars dan Jupiter, ini terjadi pada tanggal 20 Maret 1345 M, sekalipun ia juga menyimpulkan (dan ini benar) bahwa pola makan yang buruk juga menyebabkan orang lebih rentan terkena penyakit. Mereka yang menyalahkan nasib buruk tersebut akan menempuh metode pengobatan menggunakan doa dan mantra. Tidak sedikit juga yang memilih jalur perdukunan dan mendatangi para wanita tukang sihir.
3.       Sebagian mereka percaya pada teori humorisme, gagasan tersebut mengatakan bahwa tubuh memiliki empat cairan tubuh (empedu kuning, empedu hitam, darah dan dahak), mereka menggunakan empat hal tersebut untuk menganalisa kesehatan pasien. Mereka yakin bahwa ketidakseimbangan cairan tubuh tersebut menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Maka perawatan yang dilakukan adalah menyeimbangkan cairan tersebut, bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk mendorong pasien untuk muntah, mengeluarkan darah pasien dengan membiarkan lintah-lintah di kulit menghisap darahnya.
Teori Humorisme


Contoh metode pengobatan aneh yang terjadi di masa kegelapan tersebut adalah:
Ketika pasien menderita sakit gigi, dokter menyarankan untuk mengambil lilin dan dibakar di dekat gigi. Cacing yang menggerogoti gigi akan berjatuhan.
Bila terjadi keberuntungan dalam perawatan, misalnya pasien menjadi sedikit lebih baik, mereka tidak segan-segan memastikan bahwa itu karena pengobatan mereka manjur, berarti pengobatan tersebut bisa digunakan lagi.
Yang jelas, banyak orang meninggal karena penyakit yang kurang dramatis. Wanita sering meninggal saat melahirkan, mereka juga sering meninggal karena infeksi pasca persalinan. Anak-anak sering tidak hidup sampai dewasa.
Bahkan, metode diagnosis selama periode awal Renaisans pun tidak jauh berbeda dengan yang terjadi selama Abad Pertengahan. Dokter tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan penyakit menular. Saat dihadapkan pada wabah, mereka sebenarnya tidak tahu harus berbuat apa.


OPERASI DAN PEMBEDAHAN

Ada ahli bedah di abad pertengahan yang terampil, dan jumlah mereka tidak banyak, diketahui bahwa mereka mampu melakukan operasi luar, seperti bisul wajah, pencabutan gigi katarak mata dan beberapa penyakit internal, seperti pengangkatan batu kandung kemih. Meskipun begitu, masih banyak nyawa pasien yang melayang karena infeksi, karena mereka belum punya kesadaran tentang sterilisasi.
Kebanyakan operasi dilakukan oleh ahli bedah yang sebenarnya mereka tidak memiliki skill di bidang tersebut, karena pekerjaan mereka sebenarnya adalah tukang jagal dan tukang cukur, sama sekali bukan dokter.
Mereka tidak memiliki bekal pengetahuan tentang penyakit atau pembedahan kedokteran. Operasi asal-asalan yang mereka lakukan tidak banyak menolong pasien, bahkan sering berakhir dengan kematian, karena semakin parah atau minimal karena terjangkit infeksi pasca operasi.
Padahal, banyak buruh di masa itu yang memiliki banyak masalah, seperti kecelakaan, patah tulang dan sebagainya.
Di samping itu, keterampilan ahli bedah pada saat itu banyak dicari di medan perang. Karena banyak prajurit yang terluka oleh senjata atau karena tertusuk anak panah yang berakibat fatal.

Theodoric of Lucca, putra Hugh of Lucca yang ditunjuk sebagai ahli bedah Bologna di Italia selama abad ke-13, mengatakan:
“Every dan we see new instrument and new methods (to remove arrows) being invented by clever an ingenious surgeons.”
“Setiap hari kita melihat instrumen baru dan metode baru (untuk mencabut anak panah) yang ditemukan oleh ahli bedah cerdas dan cerdik.”
Sedangkan sejumlah pasien dengan gangguan neurologis (syaraf), seperti epilepsi, akan memiliki lubang di tengkorak mereka. Tentunya kematian semakin mendekati mereka.
Karena ahli bedah menangani mereka menggunakan sistem trepanning, ia akan membuat lubang ke tengkorak dengan alat bor, mereka berkeyakinan bahwa cara tersebut untuk melepaskan roh-roh jahat yang terjebak di otak pasien.
Poster Trepanning

Tengkorak Setelah Menjalani Trepanning



PERLAKUAN TERHADAP ORANG CACAT

Sikap mereka pada masa tersebut terhadap orang cacat beragam. Orang mengira itu adalah hukuman terhadap suatu dosa. Ada juga yang mengira itu akibat dari pengaruh permusuhan planet Saturnus.
Yang lain percaya bahwa orang-orang cacat lebih dekat kepada Tuhan. Karena mereka telah menderita hukuman penyucian di bumi sebagai ganti penyucian setelah kematian, maka ia akan segera sampai ke surga.
Tidak ada aturan tertentu dari negara untuk orang-orang yang cacat. Sebagian besar tinggal dan bekerja di komunitas mereka, dibantu oleh keluarganya sendiri atau teman-temannya. Terkadang mereka terpaksa mengemis.
Ada juga yang mencari uluran perawatan para biarawan dan biarawati, karena mereka juga berkewajiban melindungi peziarah dan orang asing sebagai tugas Kristen mereka.
Tercatat bahwa orang-orang cacat melakukan ziarah dengan berjalan kaki ke tempat-tempat suci, seperti tempat suci Thomas Becket di Canterbury untuk mencari penyembuhan dan ketenangan.
Katedral Canterbury


Para penderita kusta diwajibkan untuk tinggal di luar kota atau di desa, mereka membawa bel untuk memperingatkan orang-orang yang hendak mendekati mereka.
Terkadang orang cacat harus melawan ketidakadilan. Pada tahun 1297 M, para penderita yang tinggal di rumah kusta di Desa Norfolk Somerton Barat memberontak, mereka melawan kepala biara yang telah mencuri dan juga anak buahnya, mereka menjarah dan menghancurkan bangunan serta membunuh anjing penjaganya.


HOTEL-DIEU DE PARIS DAN PITIE-SALPETRIERE, DUA RUMAH SAKIT BESAR YANG MENYIMPAN SEJUMLAH SEJARAH KELAM

Di negara-negara berbahasa Prancis terdapat istilah Hôtel-Dieu, yang dalam bahasa Inggris berarti Hostel of God dan artinya adalah Asrama Tuhan. Pada awalnya merupakan rumah sakit bagi orang miskin dan orang yang membutuhkan bantuan, dijalankan oleh Gereja Katolik.
Di Perancis, ada beberapa Hôtel-Dieu, seperti:
Hôtel-Dieu de Paris yang didirikan pada tahun 561 M. Tercatat sebagai bangunan tertua di Paris dan Prancis secara umum. Kita akan mengulas secara ringkas pada pembahasan berikutnya.
Hôtel-Dieu d’Angers yang didirikan pada tahun 1153.
Hôtel-Dieu de Lyon yang dibuat pada tahun 1478.
Hôtel-Dieu de Beaune yang didirikan pada tahun 1754.

Keterangan:
Fakta ini perlu kecermatan, karena ketika membahas ini, saya sempat berspekulasi bahwa itu bukan rumah sakit, melainkan tempat penginapan (karena disebut hotel) dengan bukti yang tinggal di sana tidak hanya orang sakit, namun ternyata sistem rumah sakitnya memang demikian. Kedua, Hôtel-Dieu bukanlah berjumlah satu, namun banyak, sehingga harus disebutkan pula lokasinya, misalkan Hôtel-Dieu de Paris.

Hôtel-Dieu de Paris
Rumah Sakit Hotel-Dieu di Prancis

Merupakan rumah sakit yang didirikan oleh Saint Landry di tahun 561 M adalah rumah sakit tertua di kota Paris, Prancis. Dia adalah satu-satunya rumah sakit di Paris sampai masa Renaisans.
Dianggap sebagai rumah sakit pertama di kota dan tertua di seluruh dunia yang masih beroperasi.
Sejarah rumah sakit di Paris berasal dari Abad Pertengahan. Kemiskinan meluas selama periode tersebut, dan Hôtel-Dieu menjadi kesempatan bagi kaum borjuis dan bangsawan untuk datang membantu. Hôtel-Dieu saat ini menjadi pusat tujuan utama dalam menangani kasus-kasus darurat. Meskipun demikian, ternyata terdapat beberapa fakta sejarah yang memperburuk citra rumah sakit tua ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
Rumah sakit Paris sebelumnya berciri khas masalah sanitasi (kebersihan) dan perawatan yang buruk, lalu diikuti dengan tingkat kematian yang tinggi. Hôtel-Dieu sendiri memiliki angka kematian mendekati 25%.
Ada kesaksian yang mengungkapkan bahwa setidaknya tiga pasien berbagi satu tempat tidur di rumah sakit tersebut. Lalu upaya mengisolasi (membatasi) penyakit menular jarang terjadi. Kemudian wanita harus berbagi ranjang saat melahirkan.
1200 tempat tidur di rumah sakit itu sama sekali tidak memadai untuk menampung lebih dari 3500 pasien.
Kondisi meningkat pada tahun 1787, ketika Hôtel-Dieu menerapkan kode layanan medis yang mengubah rumah sakit dari fungsi tempat perawatan yang dijalankan oleh para biarawati menjadi berfungsi sebagai tempat perawatan medis dan bedah yang dikelola oleh para dokter.
Raja Louis XV memerintahkan pembongkaran Hôtel-Dieu pada tahun 1773 setelah mendengar kondisi pasiennya yang buruk.
Catatan Jacques Tenon yang berjudul Mémoires sur les hôpitaux de Paris (1788), membahas kondisi sanitasi yang menghebohkan, fasilitas yang padat dan tingkat kematian yang tinggi di rumah sakit Paris.
Jacques-Rene Tenon

Catatan Jacques-Rene Tenon

Dia menyebutkan bahwa Hôtel-Dieu memiliki tingkat kematian hampir 25 persen, hal itu menjadikannya sebagai “rumah sakit yang paling tidak sehat dan tidak nyaman”.
Meskipun ia adalah rumah sakit terbesar di Paris dengan kapasitas 1200 tempat tidur, namun banyak tempat tidur yang menampung tiga pasien atau lebih. Kemudian wanita melahirkan di tempat tidur bersama sementara tidak ada pemisahan antara pasien dengan penyakit menular.
Kesimpulannya, Hôtel-Dieu adalah rumah sakit terbesar dan terbaik di Paris pada zamannya, perhatian para bangsawan banyak tertuju padanya, bahkan menjadi lahan untuk beramal bagi mereka. Sekalipun demikian ternyata pelayanan terhadap para pasien masih kurang, standar perawatan penyakit pun rendah, dan pengetahuan para dokter terhadap aturan kedokteran juga minim.
Hotel-Dieu de Paris

Silahkan merujuk wikipedia dengan keyword : Hôtel-Dieu de Paris. Dan untuk melihat kondisi terkini bisa merujuk pada link:


Rumah Sakit Pitié-Salpêtrière
Rumah Sakit Pitie-Salpetriere

Selanjutnya adalah Rumah Sakit Pitié-Salpêtrière yang juga terletak di Paris, Perancis. Pitié-Salpêtrière adalah rumah sakit pendidikan yang terkenal ke-13 di Paris, ia adalah salah satu rumah sakit terbesar di Eropa. Salpêtrière pada awalnya adalah pabrik mesiu, namun pada tahun 1656 di bawah kepemimpinan Louis XIV, rumah ini diubah menjadi rumah perawatan bagi orang miskin di Paris.
Sebagai rumah perawatan, maka ia berfungsi juga sebagai penjara untuk pelacur, juga menjadi tempat penahanan penderita cacat mental, gila dan epilepsi, lalu menjadi tempat orang miskin. Dan sangat baik untuk perkembangan populasi tikus.
Meskipun Pitié-Salpêtrière sangat dikagumi karena ambisi arsitektur Liberal Bruant, namun kondisi kehidupannya tidak memuaskan bagi penghuninya.
Berdasarkan fakta sejarah di atas, bangunan ini dahulu lebih pantas disebut sebagai rumah tahanan atau penjara daripada disebut rumah sakit, sehingga hal itu menunjukkan bahwa pandangan masyarakat terhadap orang sakit pada masa itu sangat buruk. Mereka mensejajarkan status orang sakit dengan para pelaku kriminal atau orang kelas bawah yaitu orang miskin.
Keterangan selanjutnya tentang rumah ini silahkan merujuk ke Wikipedia dengan kata kunci Pitié-Salpêtrière Hospital.


KETERANGAN DARI DR. MUSTHAFA AS-SIBA’I

Dalam bukunya yang terkenal berjudul “Min Rawai’i Hadharatina” halaman 239-241, Dr. Musthafa As-Siba’i menyebutkan keterangan tentang kondisi rumah sakit di Eropa.
Beliau mengutip penuturan seorang orientalis Jerman, Max Meirhauf mengenai keadaan rumah sakit di Eropa pada masa ketika rumah sakit di peradaban Islam sudah mencapai kemajuan.
Dr. Max berkata:
“Rumah sakit di Arab dan sistem-sistem kesehatan di negeri-negeri Islam pada masa lalu telah memberikan kepada kita pelajaran yang keras dan pahit. Kita tidak dapat menilai dengan benar bila kita belum mengadakan perbandingan sederhana dengan rumah sakit Eropa pada masa yang sama.”
Lebih dari tiga abad yang lalu (terhitung dari masa sekarang) di Eropa sebelum dikenal arti rumah sakit umum (hingga abad ke-18 atau 1710), rumah sakit masyarakat Eropa ibarat rumah-rumah kasih sayang dan kebajikan serta hanya sebagai tempat tinggal bagi orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal, baik orang sakit maupun orang tua.
Contoh paling nyata untuk hal itu adalah Rumah Sakit Autille Dieux di Paris. Rumah sakit ini adalah rumah sakit Eropa terbesar saat itu yang digambarkan Max Turdeau dan Jacques-René Tenon sebagai berikut:
Rumah sakit itu berisi 1200 tempat tidur, 486 buah di antaranya masing-masing dikhususkan untuk 1 orang, sedangkan sisanya biasanya ditempati 3 sampai 6 pasien (padahal sati tempat luasnya tidak lebih dari lima kaki). Serambi-serambi besarnya pengap dan lembab, tidak berjendela dan tidak ber-ventilasi. Serambi-serambi selalu dalam keadaan gelap.
Di situ Anda dapat melihat, setiap hari sekitar 800 pasien tidur terlentang di tanah, saling tindih satu sama lain dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Di tempat tidur berukuran sedang, dapat pula anda saksikan 4 atau 5 atau 6 pasien yang berhimpitan. Kaki pasien yang satu menimpa kepala pasien yang lain. Anak-anak kecil berjejer dengan orang tua, sedangkan wanita bersebelahan dengan laki-laki. Kadang-kadang tidak dapat dipercaya, tapi itulah faktanya.
Anda dapat saksikan juga seorang perempuan yang akan melahirkan dicampur dengan anak kecil yang sedang kejang karena terserang tipus dan demam.
Ada juga pasien lain yang menderita penyakit kulit, ia menggaruk kulitnya yang sudah lapuk dengan kuku-kukunya yang penuh darah, sehingga nanah koreng-koreng mengalir di atas selimutnya.
Makanan-makanan yang disuguhkan pasien adalah makanan yang terburuk. Jumlah makanan yang dibagikan kepada pasien tidak cukup dan dalam selang waktu yang tidak teratur.
Para biarawati sudah biasa mengistimewakan pasien-pasien yang patuh dan munafik atas pasien-pasien lainnya. Mereka diberi minum alkohol dan diberi makanan kue-kue dan makanan berlemak yang disumbangkan para dermawan pada saat mereka membutuhkan pantangan siaga, banyak di antara mereka mati karena terlalu banyak makan sedang yang lain mati karena kelaparan.
Pintu-pintu rumah sakit terbuka setiap saat bagi pasien yang datang pagi dan sore, dengan begitu menyebarlah penyakit-penyakit karena penularannya dan karena kotoran-kotoran serta udara yang berbau busuk.
Kasur-kasur penuh dengan serangga-serangga kotor sedang udara di kamar-kamar tidak bisa dihirup karena terlalu pengap sehingga para pelayan dan perawat tidak berani masuk kecuali setelah meletakkan karet busa atau karangan bunga yang dibasahi dengan cuka pada hidung-hidung mereka.
Jenazah pasien yang sudah mati dibiarkan sekurang-kurangnya 24 jam sebelum diangkat dari tempat tidur umum (yang digunakan bersama pasien lain). Seringkali jenazah itu rusak dan membusuk, terbujur di samping pasien lain yang nyaris hilang kesadarannya.

Catatan:
Keterangan di atas banyak dijumpai dalam website-website berbahasa Arab, sayangnya hampir semua website tersebut menyalin dari keterangan yang ditulis oleh Dr. Musthafa As-Siba’i. Bahkan disebutkan pula nukilan tersebut dalam Wikipedia berbahasa Arab, sayangnya lama yang memuatnya belum dikoreksi, artinya masih membutuhkan rujukan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, keterangan tersebut susah ditemukan dalam website berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Namun menjadi sangat menggembirakan, ketika salah satu jurnal tentang Journal of Public Health yang berjudul “Staphylococcal Infections In The Hospital And Community” menyebutkannya beserta referensinya pada catatan kaki nomor 45.
Jurnal yang Mengutip Catatan Jacques Tenon

Jurnal tersebut bisa didownload melalui link berikut:

Sealanjutnya Tenon yang dimaksud adalah Jacques-René Tenon, seorang ahli bedah Prancis yang meninggal pada tahun 1816, dia adalah orang yang sudah kita sebutkan di atas mengenai keterangannya tentang rumah sakit di Paris. Dan sudah kita sebutkan juga bahwa dia menerbitkan sebuah buku catatan singkat tentang rumah sakit Prancis yang berjudul “Mémoire sur les hôpitaux de Paris” dan keterangan di atas dia sebutkan di dalamnya. Dengan demikian, keterangan Dr. Musthafa As-Siba'i dapat dipertanggung jawabkan, sebab dalam bukunya beliau tidak menyebutkan referensinya.


KEBODOHAN DOKTER EROPA YANG SOK TAHU MENYEBABKAN NYAWA PASIEN MELAYANG

Seorang penulis kenamaan, bernama Usamah Al-Kinani, dalam rangkaian peristiwa yang terjadi di Eropa, ia melaporkan:

Di antara keanehan watak mereka adalah bahwa penguasa El Mauniterah pernah menulis surat kepada pamanku. Penguasa minta dikirimkan seorang dokter untuk mengobati sahabat-sahabatnya yang sakit. Pamanku mengirim dokter Nasrani bernama Tsabit, tetapi tidak sampai sepuluh hari dokter ini sudah kembali.
Kami pun bertanya kepadanya: Betapa cepat Anda mengobati orang-orang sakit?
Dokter tersebut pun menjelaskan kejadiannya:
Mereka mendatangkan kepadaku seorang prajurit berkuda yang terdapat bisul di kakinya dan seorang perempuan yang nampak pucat sekali. Aku mengompres prajurit itu sehingga pecah bisulnya dan kondisinya pun membaik, sedangkan perempuan itu aku hangatkan dan aku segarkan kembali tubuhnya.
Kemudian datang seorang dokter dari Eropa kepada mereka lalu berkomentar: Orang ini (Tsabit) tidak mengetahui cara mengobati.
Lalu dokter dari Eropa itu bertanya kepada prajurit tersebut: Mana yang lebih engkau suka, hidup dengan satu kaki atau mati dengan dua kaki?
Prajurit yang belum sembuh total tersebut menjawab: Hidup dengan satu kaki.
Dokter itu pun berkata: Hadirkan seorang prajurit lain yang kuat beserta kapak yang tajam.
Setelah prajurit dan kapak yang dimaksudkan sudah hadir, dan aku (Tsabit) pun hadir, lantas dokter tersebut meletakkan betis prajurit yang berbisul itu di lobang papan dan berkata: Potonglah kakinya dengan kapak itu dengan sekali pukulan!
Prajurit yang kuat itu mengayunkan kapaknya sekali tetapi kaki itu tidak putus, dan aku (Tsabit) melihatnya sendiri. Maka diulanginya sekali lagi sehingga mengalir sumsum tulang betis itu dan prajurit itu tewas seketika.
Kemudian dokter dari Eropa itu memandang ke wanita yang tadi, ia berkata: Wanita ini di kepalanya ada setan yang suka padanya, cukurlah rambutnya!
Orang-orang pun mencukur rambutnya. Setelah itu wanita tersebut kembali mengkonsimsi makanan mereka berupa bawang putih dan biji sawi, yang tentunya menambah pucatnya.
Maka dokter dari Eropa pun berkata: Setan telah masuk di kepalanya. Kemudian dia mengambil pisau dan merobek kepalanya dan menguliti bagian tengahnya sehingga nampaklah tulang kepalanya dan mengompres dengan garam, maka wanita tersebut pun tewas seketika.

Penuturan ini terdapat dalam “Kitab Al-I’tibar, oleh Abu Al-Mudhafar Muayyid Ad-Daulah Majduddin Usamah bin Mursyid bin Ali bin Munqidz Al-Kinani 1/46
Cover Kitab Al-I'tibar



FLORENCE NIGHTINGALE

Jika pembaca masih ingin menyaksikan kondisi buruknya pengobatan dan perawatan di Eropa pada masa lalu, silahkan membaca perjalanan hidup Florence Nightingale, seorang wanita yang dijuluki sebagai pembaharu sosial dan pendiri keperawatan modern berkebangsaan Inggris yang mendapatkan sejumlah penghargaan, wafat pada tahun 1910. Ia menjadi terkenal karena selama Perang Crimea, ia menjabat sebagai manajer dan pelatih perawat.
Pembaca bisa langsung membuka Wikipedia berbahasa Inggris dengan kata kunci : Florence Nightingale.
Salah Satu Quote Florence Nightingale


Demikianlah pemaparan singkat tentang kondisi hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan di Eropa pada Abad Pertengahan. Sebenarnya pembahasan ini masih panjang dan luas, dan yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil dari fakta-fakta yang ada. Semoga bermanfaat.


Rujukan:
Kitab Al-I’tibar, Abu Al-Mudhafar Muayyid Ad-Daulah Majduddin Usamah bin Mursyid bin Ali bin Munqidz Al-Kinani
Min Rawai’i Hadharatina, Dr. Musthafa As-Siba’i
Jurnal Ilmiah berjudul “Staphylococcal Infections In The Hospital And Community” disusun oleh Reimert T. Ravenholt, M.D., M.P.H dan Otto H. Ravenholt
(Pengobatan di Eropa)
(Cacat)

Wikipedia

0 comments so far,add yours