Print Friendly and PDF

Saat anda hadir mendengarkan Khutbah Jum'at di suatu Masjid, tidakkah pernah anda bayangkan; Bagaimana para pendahulu kita 1000-an tahun yang lalu, mampu mendengarkan Khutbah Jum'at di suatu Masjid dengan ribuan hadirin, tanpa adanya pengeras suara semacam Loudspeaker? 

Untuk menjawab pertanyaan di atas, gantilah kata 'Bagaimana' dengan kata 'Tahukah Anda'. 


Demikianlah. Para ilmuwan Muslim terdahulu berhasil menciptakan teknologi pengeras suara di Masjid-masjid 'hanya dengan' mengatur bentuk bangunannya, bahannya, dan jenis karpet yang digunakan di dalamnya. Tanpa menggunakan loudspeaker, suara Imam di Masjid-masjid ini dapat terdengar nyaring dan lantang sampai ke seluruh penjuru Masjid. 


Anda mungkin tidak terlalu percaya atau Anda mungkin tidak terlalu terkejut, kami tidak terlalu perduli. Yang perlu Anda ketahui hanyalah: teknologi ini baru ditemukan oleh para ilmuwan Modern beratus-ratus tahun setelah para ilmuwan Muslim menemukannya. 


Untuk pertama kalinya sebuah ilmu yang kemudian hari dikenal dengan nama 'Akustik Arsitektural' telah dipraktikkan sejak zaman keemasan Sains umat Islam. Ilmu Arsitektural Akustik (ash-Shaut al-Mi'mary) adalah sebuah cabang ilmu Arsitektur yang membahas tentang teknik memperbaiki/memperjelas suara yang dihasilkan di dalam suatu bangunan yang tertutup. 


Singkatnya, jika ada seseorang hendak berceramah di bangunan itu, dia tidak lagi memerlukan pengeras suara elektronik, sebab bentuk bangunannya telah mengoptimalkan intensitas suara tersebut. 


Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali membahasnya adalah Joseph Henry, Fisikawan Amerika, pada tahun 1856 M. Lalu pada tahun 1900 M. datanglah Wallace Sabine mengembangkannya. Pada saat itu, Sabine meneliti sebab buruknya suara di Aula-aula (kelas-kelas) perkuliahan Universitas Harvard, Amerika Serikat. Sabine juga meneliti karakteristik suara di beberapa Auditorium dan ruangan Musik. 


Namun sebagaimana sejarah-sejarah penemuan lainnya, sejarah Akustik Arsitektural perlu direvisi. Sebab 300-an tahun sebelum Henry dan Sabine lahir, seorang Arsitektur Agung Dinasti Utsmaniyah, Mimar Sinan, telah berhasil mempraktikkan Akustik Arsitektural pada banyak karya-karya arsitekturnya. 


Hal ini tidak mengherankan. Sebab jika kita menelusuri kembali jejak kejayaan Peradaban Islam yang membentang dari abad ke-6 hingga abad ke-16, kita akan menemukan banyak sekali karya tulis dan penemuan dalam dunia ilmu dan seni suara. Maka di bidang ini, Mimar Sinan tidaklah sendirian. 


Masjid-masjid besar Islam yang dibangun sebelum zaman Mimar Sinan hidup, telah menggunakan teknik Akustik Arsitektural. Ilmu ini telah mengglobal di zaman itu. Masjid-masjid canggih ini tersebar di 6 negara Islam; Mesir, Suriah, Iraq, Iran, Turki, dan Andalusia (Spanyol dan Portugal). Bahkan Masjid Agung Cordoba, Spanyol, 1000 tahun yang lalu telah menggunakan teknologi pengeras suara ini. Rongga-rongga Masjid ini dirancang agar dapat mentransfer suara Imam sampai ke seluruh penjuru Masjid.


Demikianlah. Sebab kebutuhan umat Islam kepada teknologi ini adalah kebutuhan primer. Ia terikat langsung dengan keberlangsungan Shalat berjama'ah yang mereka lakukan 5 kali sehari. Belum lagi Shalat Jum'at dan Shalat-shalat besar lainnya. Mendengar suara Imam dan ceramah Khatib Jum'at dengan jelas adalah sesuatu yang amat sangat urgen. 


Oleh sebab itu, para Arsitektur Muslim di zaman itu merancang atap-atap dan dinding-dinding Masjid dengan skema yang akurat. Skema yang mampu menjamin tersebarnya suara Imam/Khatib secara teratur ke seluruh penjuru bangunan. Menjangkau seluruh hadirin bagaimanapun luasnya Masjid tersebut. 


Mereka mendesain atap-atap Masjid dan dinding-dindingnya dengan bentuk permukaan yang cekung. Atap-atap dan Dinding-dinding cekung ini disebar di pojok-pojok Masjid dan tiang-tiangnya. Sehingga kemudian suara dapat tersebar dengan terorganisir ke seluruh penjuru. 


gambar: Ilustrasi arah pantulan suara pada Kubah

Para ilmuwan Muslim di zaman itu memandang bahwa suara itu dapat memantul dari permukaan benda yang cekung. Kemudian pantulan-pantulan suara tadi akan terkumpul pada titik fokus tertentu. Hukum suara ini seperti hukum cahaya yang memantul pada permukaan cermin yang berbentuk cekung. 

Terkait hal ini, Anda bisa membaca artikel kecil saya yang berjudul: 700 Tahun Lalu, Al-Jaldaky telah Menjelaskan Fenomena Gema dan Gelombang Suara . Al-Jaldaky adalah seorang pakar Kimia, Fisika, Mekanika, Medis, dan Farmasi di abad ke-14 M. 


Di antara Masjid-masjid yang menggunakan Akustik Arsitektural antara lain: 

- Masjid Jameh Abbasi atau Masjid Shah di Ashfahan/Esfahan (Iran) 
- Masjid al-'Adiliyah di Aleppo (Suriah) 
- Masjid-masjid kuno di Baghdad (Iraq) 
- Masjid Sultan Hassan di Kairo (Mesir) 
- Masjid-masjid karya Mimar Sinan di Istanbul (Turki)
Hari ini pun Anda masih dapat menyaksikan bagaimana Auditorium-auditorium modern; -baik tempat pertemuan ataupun panggung pementasan-, menggunakan teknologi Akustik Arsitektural. Lihatlah saja pada kebanyakan Auditorium hari ini, biasanya langit-langit dan sudut-sudutnya berbentuk cekung. 


gambar: Interior Symphony Hall Birmingham yang menggunakan
teknologi Akustik Arsitektural di dunia modern
gambar: Interior Masjid Suleymaniye di Istanbul Turki
gambar: Interior Masjid Shah atau Jameh Abbasi di Esfahan

RESONATOR KARYA ARSITEKTUR AGUNG DINASTI UTSMANIYAH: MIMAR SINAN 

Sebelum kita membahas Resonator karya Mimar Sinan ini, perlulah kita membahas sedikit tentang apa itu Resonansi. 


Resonansi adalah peristiwa ikut bergetarnya suatu benda karena pengaruh getaran benda lain. Syarat terjadinya Resonansi adalah: kedua sumber bunyi tadi harus memilliki frekuensi alami yang sama atau kelipatannya. 


Contohnya cukup banyak. Saat petir menggelegar misalnya, cobalah perhatikan kaca jendela rumah Anda. Kaca tersebut tentu ikut bergetar seiring dengan datangnya bunyi petir. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena frekuensi suara petir sama dengan frekuensi alamiah bahan kaca. Peristiwa 'menularnya getaran' inilah yang disebut dengan Resonansi. 


Contoh lainnya adalah suara Anda sendiri. Ketika Anda berbicara, yang pertama kali bergetar adalah pita suara. Nah, pada saat itulah udara yang berada di sekitar pita suara pun ikut bergetar karenanya. Inilah Resonansi. Apabila getaran keduanya seimbang, suara Anda dapat terdengar jelas dan nyaring. Maka tanpa adanya Resonansi, pita suara hanya dapat menimbulkan bunyi yang lemah karena panjangnya hanya berkisar antara 1.5-2 cm. 


Anda bisa membaca artikel seputar Resonansi lebih jelas dan mudah di sini: http://www.pakmono.com/2015/09/pengertian-resonansi-dan-syarat-terjadinya.html


Resonansi sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti: berbunyi kembali atau resound. Kita bisa juga mengartikannya 'bergema'. Resonansi banyak kita jumpai pada kebanyakan alat musik. Sebab dalam musik, resonansi digunakan untuk meningkatkan intensitas (loudness) dari suara. 


Alat Musik Organ kuno yang masih menggunakan pipa misalnya, getaran yang relatif lemah yang dihasilkan pada ujung pipa Organ, menyebabkan kolom udara dalam pipa ikut bergetar dalam resonansi. Dari kejadian inilah kemudian, kekuatan suara yang dihasilkan Organ pun meningkat. 


gambar: Prinsip Resonansi digunakan dalam al-'Ud (Lute)
alat musik kuno dari peradaban orang-orang Islam sebelum abad ke-10 M.

Nah, sekarang tinggallah pertanyaan: Apa hubungan antara Resonansi dan Resonator? 

Hubungan antara keduanya dapat Anda pelajari lebih dalam pada pembahasan yang bernama 'Resonansi Helmholtz'. Apa itu Resonansi Helmholtz? Ia adalah peristiwa Resonansi udara yang terjadi dalam suatu rongga. Salah satu contohnya adalah bunyi yang diciptakan ketika seseorang menghembuskan udara ke arah mulut botol yang kosong. 


Sejarah mencatat bahwa studi pertama tentang Resonansi ini berasal dari Resonator ciptaan seorang ilmuwan Jerman yang bernama Hermann Von Helmholtz pada tahun 1862 M. Resonator ini berupa sebuah wadah berbahan keras yang mengandung volume tertentu. Wadah ini hampir berbentuk bulat, dengan leher kecil dan lubang di salah satu ujung, serta lubang yang lebih besar di ujung yang lain. Resonator Helmholtz ini berfungsi untuk mengurangi bunyi yang tidak diinginkan. 


Ya, mengurangi bunyi yang tidak diinginkan. Ingat hal ini baik-baik. Resonator Helmholtz ini mempunyai besar volume tertentu dan panjang leher tertentu yang terhitung secara matematis dan akurat. Dengan mengatur volume dan panjang leher Resonator inilah seseorang bisa mengatur gelombang suara manakah yang ingin ia tiadakan. 


gambar: Resonator Helmholtz dalam berbagai ukuran

Hanya saja saat itu Resonansi Helmholtz belumlah terlalu terkenal. Ia baru menjadi fenomena dan mulai termasyhur pada tahun 1953 M. Saat itu seorang Fisikawan bernama Karl Uno Ingard membuktikan secara ilmiah bahwa Resonator-resonator Helmholtz ini memiliki 2 fungsi: 
1. Memantulkan gelombang-gelombang pada frekuensi suara tertentu 
2. Menyerap gelombang-gelombang pada frekuensi suara tertentu lainnya 

Ringkasnya, Resonator-resonator ini mampu memilih suara mana yang mesti dihapus, dan suara mana yang mesti dipantulkan menjadi semakin nyaring. 


Namun, Hoax-kah jika saya menyebutkan bahwa ternyata lebih dari 250 tahun sebelum Helmholtz menciptakan Resonatornya, seorang Arsitektur Agung Dinasti 'Utsmaniyyah yang bernama Mimar Sinan telah menciptakan Resonator-resonator buatannya, dan memfungsikannya pada Masjid-masjid besar karyanya. 


Ya, Sinan berhasil membuat model bangunan yang mampu menciptakan sistem terwujudnya homogenitas dalam penyebaran gelombang suara, serta sekaligus memungkinkan terhasilkannya pantulan suara yang optimal. Mudahnya, suara yang dihasilkan tidak hanya lantang dan nyaring karena fungsi gema, akan tetapi juga jernih dikarenakan bising yang mungkin timbul dari gema terserap oleh resonator-resonator buatannya. 


Pada Masjid-masjid buatannya, Sinan memasang beberapa jurrah kecil (wadah semacam guci yang berlubang di bagian bawahnya) di bagian dalam Kubah dan sudut-sudut Masjid, lalu beliau arahkan lubang-lubang jurrah tadi ke ruang dalam Masjid.  Jurrah-jurrah inilah yang beliau fungsikan sebagai Resonator penjernih suara.



gambar: Ilustrasi salah satu model Resonator buatan Sinan

Dalam sebuah studi (berbahasa asing) yang berjudul "Menjaga Peninggalan Ilmu Bunyi; dari Penelitian Sifat-sifat Akustik (Bunyi) di Masjid-masjid Karya Sinan, dan Menghidupkannya Kembali" dilakukan studi banding antara Masjid Jami' Sokollu Mehmed Pasha yang dibangun oleh Mimar Sinan di abad ke-16 M. dengan Masjid Jami' Syisyli Pusat di Istanbul yang dibangun pada abad ke-20; dari segi sifat-sifat suara yang dihasilkan didalamnya. 

Dilakukanlah pengukuran parametrik pada 4 poin berikut: 

1. Kejernihan suara 
2. Kejelasan suara  
3. Nilai kofisien jangkauan suara (level penerimaannya)  
4. Keberlanjutan gemanya 

Sekalipun penelitian ini tidak memperdulikan faktor pemengaruh hasil suara; berupa terserapnya suara oleh peredam-peredam suara yang ada di kedua Masjid tersebut, tampaklah bahwa suara di Masjid karya Sinan jauh lebih unggul. Hal ini membuat orang bertanya-tanya: Apakah teknik Akustik Arsitektural Mimar Sinan itu lebih canggih dibanding teknik orang-orang modern hari ini? 


Seorang penulis di MuslimHeritage.com dalam laporan penelitiannya mengenai 'Sistem Akustik' pada 6 Masjid karya Mimar Sinan, membawakan sedikit gambaran resonator-resonator tersebut pada kita. Walau sayangnya, beliau belum mampu mencapai kubah 6 Masjid tersebut untuk melakukan pemeriksaan yang mendetail pada resonator-resonator tersebut. Akan tetapi, restorasi kedua di Masjid Sehzade dan Masjid Sultan Ahmet memberikan beliau kesempatan untuk melakukan semacam inspeksi pemeriksaan. 


Beliau menemukan 35 resonator pada dinding Masjid Sehzade; masing-masing memiliki tutup berlubang untuk meningkatkan resistansi internal dari sistem. Resonator-resonator tersebut tentu adalah sistem akustik yang berfungsi untuk mengontrol gelombang suara yang ada di sebuah ruangan besar. 


Adapun di Masjid Sultan Ahmet, ditemukan 75 resonator pada tiga cincin di bagian kubah. Sebagian Resonator itu memiliki lubang kecil dengan radius 1,5 cm, sementara yang lainnya berukuran 3 cm. (Figur 6) 


Resonator dengan ukuran lubang 1,5 cm. diperkirakan dapat memberikan frekuensi resonansi sekitar 100-120 Hz. Sementara Resonator dengan ukuran lubang 3 cm. dapat memberikan frekuensi resonansi sekitar 180-200 Hz. 


Adapun jumlah Resonator di kubah Masjid Selimiye dan Masjid Suleimaniye masing-masingnya adalah 64 buah. 


Namun ironisnya, hari ini Anda tidak dapat merasakan sistem akustik Masjid Suleymaniye sesempurna dahulu. Media Nasional, Republika memberitakan bahwa restorasi (pemulihan) yang tengah berlangsung di Masjid Raya Sulaimaniah (Süleymaniye) mengakibatkan hilangnya fitur akustik dalam ruangan. Republika menyebutkan: "Sebelum proses restorasi, suara dalam masjid dapat terdengar tanpa bantuan mikrofon. Kini, masjid membutuhkan mikrofon guna membuat suara khutbah sampai ke seluruh ruangan." 


Walau demikian, Anda masih bisa menikmati pengeras suara kuno dari peradaban Islam ini pada Masjid-masjid yang kami tampilkan pada video-video berikut:



video: Sistem Akustik di Masjid Sultan Hassan di Kairo, Mesir

video: Sistem Akustik di Masjid Sultan Hassan di Kairo, Mesir

video: Sistem Akustik di Masjid Shah di Esfahan, Iran

Namun tahukah Anda bahwa dalam perkembangan yang lebih modern, resonator Helmholtz (yang sebenarnya didahului oleh Sinan) banyak digunakan sebagai komponen rancangan muffler (knalpot) maupun kotak (bass-reflex enclosure) loudspeaker? 

Katakanlah Anda tahu fakta ini, Anda masih harus tetap menelan kenyataan pahit bahwa nama Mimar Sinan tidak pernah tertulis di buku-buku sekolah dan perkuliahan sebagai penemu Resenator pertama. Nama Mimar Sinan hanya tertulis sebagai nama sebuah kawah di Bulan yang begitu kecil nan jauh dan tak terlihat oleh mata telanjang.


Sumber: 

menoflostglory.wordpress.com 
hiramagazine.com
pengertianahli.com 
alchamel114.org 
brainly.co.id 
algerienturc.com 
rohanataqiyah.blog.uns.ac.id 
id.wikipedia.org 
en.wikipedia.org 
rumushitung.com 
dekadukasi11.blogspot.co.id 
walpaperhd99.blogspot.co.id 
fisikazone.com  
republika.co.id
newscenter.news 
islamstory.com 

Ditulis oleh:
Ahmad Ubaidillah* 


* Mahasiswa Prodi Takmili Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab di Jakarta cabang Universitas Al-Imam Muhammad bin Saud Riyadh Kerajaan Arab Saudi

Dibantu oleh (Wawancara):
Wildan Ruiss*

* Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin di Karadeniz Teknik Universitesi Trabzon, Turki

4 comments so far,Add yours

  1. Mantaaap .....
    نفع الله بكم الإسلام والمسلمين

    BalasHapus
  2. Teknik ini, apakah sampai saat ini masih ada bangunan yang menggunakannya?
    Baarakallah fikum

    BalasHapus
  3. goood arsitecture

    BalasHapus
  4. mantaap jiwa kejaayaan peradapan waktu itu, subhanalloh

    BalasHapus